BAHASA PEMERSATU BANGSA DAN SASTRA MENGUBAH PERILAKU MANUSIA

DENGAN SEPENUH HATI SESARAT HORMAT

SELAMAT DATANG DI BLOG BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

WAHANA EDUKASI, INFORMASI, MEMBUKA CAKRAWALA LEWAT BAHASA DAN SASTRA

SEMOGA KITA BISA LEBIH BERMAKNA

Dasiman Adnan

Selasa, 16 September 2014

Revolusioner Chairil Anwar dalam Puisi Aku

REVOLUSIONER CHAIRIL ANWAR MELALUI PUISI AKU
 (Kajian Stilistika sebuah Aplikasi Apresiasi Puisi pada
Program Peminatan Kurikulum SMA 2013)

Oleh:
DASIMAN
Staf pengajar di SMA Negeri 1 Pecangaan Jepara, Unisnu Jepara, Unissula Semarang,
PGPAUD-PGSD  UPBJJ-UT Semarang.

(Makalah Ini Telah Dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional Unissula Semarang 2013,
 bersama pemakalah: 
Prof, Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.  
Prof. Dr. Rustono, M.Hum.
Dr. Teguh Supriyanto, M.Hum.
Dr. Maman S, Parman, M.Hum.

SARI
Kekurangberhasilan pembelajaran apresiasi puisi disebabkan guru masih senang menyampaikan teori-teori sastra yang bersifat hafalan, verbal, dan menjenuhkan. Guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggeluti puisi serta melakukan apresiasi. Akibatnya, siswa kurang memiliki wawasan pengalaman dalam interpretasi. Hasil belajar, siswa kurang mampu memberikan apresiasi terhadap puisi. Untuk itu, penulis menyajikan model apresiasi puisi dengan kajian stilistika sebuah aplikasi apresiasi puisi pada program peminatan kurikulum SMA 2013.
Permasalahan kajian dalam artikel konseptual ini yaitu 1) bagaimanakah kajian stilistika dalam aplikasi apresiasi puisi pada program peminatan kurikulum SMA 2013? 2) bagaimanakah revolusioner Chairil Anwar melalui puisi Aku? Tujuan penulisan artikel konseptual ini adalah 1) menerapkan prinsip-prinsip kajian stilistika dalam apresiasi puisi, 2) menemukan revolusioner Chairil Anwar dalam puisi Aku.
Artikel konseptual ini menggunakan data empiris dan kajian pustaka. Data empiris menjadi dasar melakukan kajian, Sedangkan, kajian pustaka untuk mendapatkan solusi menjawab permasalahan. Hasil kajian adalah 1) puisi Aku menjadi simbol revolusioner penulisan puisi baru di Indonesia. Chairil melakukan pendobrakan untuk keluar dari norma-norma penulisan puisi lama.
         Kata kunci: Puisi Aku Stilistika Kurikulum 2013

Pendahuluan
Salah satu kompetensi inti program peminatan pada kurikulum 2013 dalam pembelajaran apresiasi puisi, yaitu mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan (Lampiran 5A Kurikulum 2013). Mencermati muatan kompetensi inti kurikulum 2013 khususnya KD pembelajaran apresiasi puisi tersebut, guru dituntut untuk lebih mengembangkan wawasan dalam mengapresiasi puisi. Di samping itu, guru juga harus pandai mengemas pembelajaran apresiasi puisi secara menyenangkan.
Terkait pembelajaran apresiasi puisi selama ini, guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa melakukan apresiasi. Guru masih senang menyampaikan teori-teori sastra yang bersifat hafalan, verbal, dan menjenuhkan. Kenyataan seperti itu sudah lama bahkan sampai sekarang masih terjadi. Hal itu makin membenarkan pendapat Winarti (2006:45) di dalam jurnal bahwa pembelajaran sastra menjadi makin menonjol ketika guru menghindari materi sastra yang bersifat apresiatif dan menggantinya dengan teori sastra, bahkan ada yang meninggalkan sama sekali. Bentuk evaluasi yang dilakukannya pun masih pada tataran teori dan kurang atau bahkan belum sampai pada tataran praktik. Itulah data empiris pembelajaran apresiasi puisi yang banyak dilakukan guru Bahasa dan Sastra Indonesia selama ini.
Ada dua masalah yang berkaitan dengan pembelajaran apresiasi puisi di sekolah. Kedua masalah itu antara lain 1) siswa pada umumnya mengalami kesulitan melakukan interpretasi dalam menentukan makna puisi, 2) siswa kurang memiliki wawasan dalam mendekati puisi. Kedua masalah tersebut disebabkan oleh adanya strategi pembelajaran sastra yang kurang memberi peluang siswa melakukan apresiatif. 
Faktor pembelajaran membaca puisi yang kurang memberi peluang siswa melakukan apresiatif. Karena pembelajaran bersifat teoretis, individualis, hafalan, dan verbal. Pembelajaran pada akhirnya monoton, kurang menarik, dan membosankan. Itulah fakta paling berpengaruh terhadap keberhasilan tujuan pembelajaran apresiasi puisi. Hal ini disebabkan oleh pentingnya peran guru dalam mengelola proses pembelajaran. Guru yang kreatif akan mampu mengelola pembelajaran sastra yang apresiatif, kolaboratif dan rekreatif.

Permasalahan
Permasalahan kajian dalam artikel konseptual ini yaitu:
1) Bagaimanakah kajian stilistika dalam aplikasi apresiasi puisi pada program peminatan kurikulum SMA 2013? 
2) Bagaimanakah revolusioner Chairil Anwar melalui puisi Aku? 

Hasil dan Pembahasan
Puisi Aku merupakan puisi yang monumental. Karya sastra puisi yang melegenda sebagai pembaharu perpuisian di Indonesia. Puisi aku sungguh luar biasa. Kata-katanya biasa, namun menjadi polemik yang tak akan habis untuk dikupas, dikaji, dinikmati, direnungkan. Puisi Aku betul-betul puisi yang memiliki daya magis. Itulah kehebatan Chairi Anwar sebagai revolusioner di bidang puisi.
Puisi Aku karya Chairil Anwar sudah banyak yang mengupas, dengan berbagai pendekatan. Hasil kupasannya pun beraneka ragam. Ada yang menyebut bahwa puisi itu berisi (1) pernyataan putus cinta penyairnya terhadap seorang wanita, atau dalam menghadapi masalah yang berat (Soni Farid Maulana, 2012:63-64). Ada juga yang menafsirkan puisi aku isinya tentang (2) kematian (Imam Syafe’i dan A Syukur Ghozali, 1995:255). Di samping dua interpretasi tersebut, saya masih menemukan penafsiran yang berbeda. Puisi aku berisi (3) Sebuah harapan akan kemerdekaan (Nyoman Kutha Ratna, 2009 : 357). Multi interpretasi. Itulah bentuk puisi. Oleh karena itu pula, penulis ingin mengupas puisi Aku dengan pendekatan yang berbeda dengan yang lain, yaitu kajian dengan pendekatan stilistika.
Stilistika berasal dari bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari bahasa serapan “linguistic” yang berarti tata bahasa. Stilistika menurut kamus Bahasa Indonesia yaitu Ilmu kebahasaan yang mempelajari gaya bahasa. Sedangkan menurut C. Bally, Jakobson, Leech, Widdowson, Levin, Ching, Chatman, C Dalan menentukan stilistika sebagai suatu deskripsi linguistik dari bahasa yang digunakan dalam teks sastra. Bagi Leech, stilistik adalah simple defind as the (linguistic) study of style. Wawasan demikian sejalan dengan pernyataan Cummings dan Simmons bahwa studi bahasa dalam teks sastra merupakan…branch of linguistic called stylistic. Dalam konteks yang lebih luas, bahkan Jakobson beranggapan bahwa poetics (puitika) sebagai teori tentang sistem dan kaidah teks sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Linguistic. Bagi Jakobson Poetics deals with problem of verbal structure, just as he analysis of painting is concered with pictorial structure since linguistics  is the global science of verbal structur, poetics may be regarded as an integral of linguistic ( dalam Amminuddin :1995 :21).
Berbeda dengan wawasan di atas, Chvatik mengemukakan Stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagai kode estetik dengan kajian stilistik yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagaimana bahasa menjadi objek kajian linguistik (Aminuddin :1995 :22). Sedangkan menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Stilistika perhatian utamanya adalah kontras system bahasa pada zamannya (Wellek dan Warren : 1990 : 221).
Bertolak dari berbagai pengertian di atas, Aminuddin mengartikan stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya. Walaupun fokusnya hanya pada wujud sistem tanda untuk memperoleh pemahaman tentang ciri penggunaan sistem tanda bila dihubungkan dengan cara pengarang dalam menyampaikan gagasan. Pengkaji perlu juga memahami 1) gambaran objek/peristiwa, 2) gagasan, 3) ideologi yang terkandung dalam karya sastranya (Aminuddin : 1995 :46).
Kajian Stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggungjawabkan. Landasan empirik  merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati, memahami, dan menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang. Dari penjelasan selintas tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis yang dilakukan dalam apresiasi puisi meliputi :
1.   Analisis tanda baca yang digunakan pengarang.
2.  Analisis hubungan antara sistem tanda yang satu dengan yang lainnya.
3. Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin: 1995 :98).
Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impresionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika ini diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria objektifitas dan keilmiahan (Aminuddin :1995 : 42).
Pada kajian sastra ini prosedur analisis yang digunakan dalam kajian stilistika, diantaranya :
1.    Analisis aspek gaya dalam karya sastra.
2.  Analisis aspek-aspek kebahasaan seperti manipulasi paduan bunyi, penggunaan tanda baca dan  cara penulisan.
3. Analisis gagasan atau makna yang dipaparkan dalam karya sastra (Aminuddin : 1995 :42-43). Perhatikan Puisi Aku karya Chairil Anwar berikut!

       Aku
      Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Deru Campur Debu, 1963:7).

1.    Analisis Sistem Tanda yang Digunakan Pengarang              
Puisi Aku karya Chairil Anwar di atas bila diperhatikan hampir semuanya berupa paparan gagasan dalam komunikasi keseharian. Namun, jika ditinjau lebih lanjut dalam setiap kata, larik, bait, dan tanda yang digunakan, Puisi Aku memiliki beban maksud penutur. Misalnya pada larik Aku ini binatang jalang dapat menuansakan gagasan kehidupan bebas, tidak terikat. Serta penggunaan lambang jalang biasanya mengacu pada hewan yang liar yang tidak mau, tidak mudah diatur.
Di sini pengarang ingin memberikan efek emotif bahwa manusia pada hakikatnya ingin bebas, merdeka, tanpa ada pengaruh. Ini dapat diartikan juga, Chairil Anwar dalam kepengarangannya ingin bebas dari belenggu penciptaan karya sastra pada waktu itu. Pada masa itu, anggatan 20-an dan 30-an, membuat puisi sudah ada patron atau bentuk yang baku. Bentuk itu  antara lain pantun dan syair.
Kedua jenis puisi itu, pantun dan syair lebih mementingkan segi bentuk dibandingkan segi isi. Padahal, karya sastra tanpa isi adalah omomg kosong. Oleh karena itu, Chairil melakukan pemberontokan terhadap tradisi itu. Chairil ingin membuat puisi yang tidak dibatasi oleh bentuk, tetapi puisi yang sarat dengan isi puisi.

2.    Analisis Gaya Pemilihan Kata
Gaya pemilihan kata pada dasarnya digunakan pengarang untuk memberikan efek tertentu serta untuk penyampaian gagasan secara tidak langsung sehingga memiliki kekhasan tersendiri. Pada puisi Aku karya Chairil Anwar  semuanya menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kalau kita cermati hampir semuanya merupakan bentuk manipulasi penggunaan kata. Karena kata-kata yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dalam puisi itu ternyata bukan makna sebenarnya melainkan memiliki makna tersendiri. Hal itu dapat diinterpretasikan sebagai berikut :
Aku (Penulisnya sendiri, Chairil Anwar).
Kalau sampai waktuku (saatnya, Chairil Anwar melakukan perubahan, terutama dalam kreativitasnya membuat puisi tidak lazimnya puisi pada waktu itu yang berbentuk pantun dan syair. Puisi yang lebih mementingkan segi bentuk dibandingkan segi isi. Chairil mencba membuat puisi bebas. Puisi yang tidak lagi mementingkan segi bentuk melainkan lebih mementingkan segi isi). Kumau tak seorang kan merayu (Tidak ada yang bisa mempengaruhi Chairil Anwar dalam berkarya mencipta karya sastra puisi). Tidak juga kau (Kau dapat diartikan yaitu para pengarang pada waktu itu). Tak perlu sedu sedan itu ( Apa yang dilakukan Chairil itu tidak perlu disedihkan).
Aku ini binatang jalang (Chairil menamakan dirinya binatang jalang, artinya pengarang yang liar) Dari kumpulannya terbuang (tidak sama dengan pengarang-pengarang lainnya pada waktu itu. Pengarang yang membuat puisi diikat oleh aturan-aturan bentuk. Pantun dan syair yang harus dengan syarat-syarat bait, baris, jumlah suku kata, sampiran-isi, dan rimanya).
Biar peluru menembus kulitku (meskipun ejekan, cacian, makian, dan cemoohan,  dirasakan sakit). Aku tetap meradang menerjang (Chairil Anwar tetap tidak mempedulikan, Chairil Anwar tetap berkarya sebagaimana keinginannya, yaitu membuat puisi tidak lagi mementingkan segi bentuk tetapi lebih mementingkan segi isi).
Luka dan bisa (ejekan, cacian, makian, dan cemoohan yang menyakitkan) kubawa berlari (oleh Chairil Anwar diabaikan, dianggap tidak ada apa-apa, anjing menggonggong kafilah berlalu). Berlari (terus dan terus diabaikan). Hingga hilang pedih perih (sampai ejekan, cacian, makian, dan cemoohan berhenti dengan sendirinya). Dan aku akan lebih tidak perduli (akhirnya Chairil Anwar lebih tidak menghiraukan lagi, ejekan, cacian, makian, dan cemoohan itu). Aku mau hidup seribu tahun lagi (Chairil Anwar akan terus, dan terus berkarya membuat puisi dengan caranya sendiri, membuat puisi yang tidak mementingkan segi bentuk melainkan lebih mementingkan segi isi).

3.    Analisis Penggunaan Bahasa Kias
     Bahasa kias merupakan penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perbandingan ataupun analogi ciri semantis yang umum dengan umum, yang umum dengan yang khusus ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan ataupun analogi tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam menggambarkan citraan maupun gagasan baru (Aminuddin : 1995 : 227).
     Kiasan yang dimaksud memiliki tujuan untuk menciptakan efek lebih kaya, lebih efektif, dan lebih subyektif dalam bahasa puisi. Pada puisi Chairil Anwar kiasan yang banyak digunakan adalah metafora yakni kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan langsung itu tidak disebutkan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan. Contoh klasik : Lintah darat, bunga bangsa, kambing hitam dan sebagainya (Herman J. Waluyo : 1987 : 84). Dalam “Aku” Chairil Anwar, “Aku ini binatang jalang” dapat diartikan seorang Chairil Anwar sebagai pengarang menyamakan dirinya sebagai mana binatang jalang, binatang yang liar. Ini berarti menggunakan gaya pengungkapan metafora.
    Metafora yang terkandung dalam baris kelima dan keenam ini jelas sangat khas, berani, dan revolusioner. Sifat ini jelas dalam pendobrakan dalam pembaharuannya menciptakan karya sastra puisi.
    “Dari kumpulannya terbuang” di sini ada majas hiperbola seolah tidak dibutuhkan. Majas inilah sebagai tanda bahwa Chairil Anwar mempunyai pendirian yang teguh, berjiwa muda pantang menyerah dalam mempertahankan idealismenya. Meski untuk itu, dibutuhkan pengorbanan yang luar biasa, dengan konsekuensi dikucilkan, diasingkan dari kumpulannya yaitu oleh pengarang-pengarang  pada waktu itu.
    ”Biar peluru menembus kulitku” sebuah ungkapan yang luar biasa tepat untuk mengungkap sebuah kesiapan terhadap ejekan, cemoohan terhadap pembaharuan kepengarangan yang telah dilakukan.
    “Aku ingin hidup seribu tahun lagi” inilah sebuah ungkapan yang jauh luar biasa sehingga melegenda, bahkan menjadi mitos untuk mengungkap bahwa pembaharuannya akan diteruskan oleh Chairil Anwar -Chairil Anwar yang lain meski Chairil Anwar  telah meninggal meninggal. Oleh karena itu, saya sependapat bahwa keberhasilan Chairil Anwar dalam mencipta puisi (Nyoman Kutha Ratna, 2009 : 353) ditunjukkan oleh beberapa faktor, di antaranya :
a.       representasi visual melalui kebaruan bentuk, komposisi, susunan baris, dan bait.
b.      efesiensi bahasa, penggunaan kata-kata secara singkat, sederhana tetapi penuh energi.
c.       pembawa aliran baru sebagai ekspresionalisme.
d.      keberhasilannya untuk menggugah emosi pembaca.

4.    Pengimajinasian
Pengimajinasian ini terlihat pada citraan yang diciptakan. Ada hubungan erat antara diksi, pengimajinasian, dan data konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajinasian dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa.
Baris-baris puisi “Aku” Chairil Anwar menunjukkan adanya pengimajian secara visual (melukiskan sesuatu melalui imaji penglihatan yang dipadu dengan rasa). Memang untuk bisa menangkap pesan, diperlukan bekal sejarah, bahkan paham latar puisi itu dicipta, serta didukung daya kepekaan. Tanpa itu, sulit bisa menangkap gagasan spektakuler Chairil Anwar.
Penanda yang ada, “Aku ini binatang Jalang, dan Dari kumpulannya terbuang”. Kalau pembaca yang tidak memiliki daya pengimajinasian tinggi, saya yakin, mustahil pembaca akan bisa menemukan hakikat makna ‘binatang jalang dari kumpulannya terbuang’.

5.    Analisis penggunaan bunyi
Dalam analisis bunyi bahasa puisi, penulis sependapat dengan (Nyoman Kutha Ratna, 2009 : 358-359). Dalam karya sastra, khususnya puisi pesanlah yang dominan, yang pada gilirannya memicu pengarang untuk melakukan pemilihan terhadap kata-kata yang paling tepat untuk mewakili pesan-pesan tersebut. Ekuivalensi ini tidak terbatas pada sinonim kata-kata, tetapi juga meliputi bunyi, morfologi, sintaksis, dan semantis.
Baris pertama //Kalau sampai waktuku// yang hanya terdiri dari tiga kata jelas mengandung  khas seperti di atas. Pesan yang dimaksudkan juga diperoleh melalui pemilihana kata yang khas, di antaranya menemukan makna yang paling optimal di antara kata-kata yang dianggap memiliki sinonim. Cara ini tentu tidak mudah, sebab seperti di atas, di samping padanan kata juga harus mempertimbangkan aspek bunyi, tata bahasa, estetika, dan sebagainya. Kata ‘kalau’ bersinonim dengan kata jika, bila, seandainya, andaikata, seandainya, umpama, misalnya. Kata yang paling dekat bersinonim dengan kata kalau yaitu jika. Hanya kata jika tidak bersajak, tidak memiliki persamaan bunyi dengan kata-kata yang mengikutinya. Dengan kata lain, secara estetis kata-kata tersebut memiliki kualitas yang berbeda. Dalam puisi, justru aspek terakhir menjadi dominan.
Satu-satunya padanan kata ‘sampai’ adalah ‘tiba’ . Padanan kata ‘waktu’ adalah ‘saat’, ‘masa’, ‘hari’, ;jam’. Padanan kata yang paling dekat adalah ‘saat’ tetapi tidak bersajak. Oleh karena itu, kata yang dipilih ‘waktu’ dan ‘kalau’. Di samping itu, vokal rangkap dalam kata ‘kalau’ /au/ ada persamaannya dengan ‘sampai’ /ai/, juga ada kaitan dengan baris kedua , ‘mau’ /au/ dan baris ketiga ‘kau’ /au/. Penggunaan ‘ku (dengan apostrof), bukan ‘aku’ dimaksudkan agar ada kaitan dengan ‘kan bukan ‘akan’. Menurut tata bahasa kata ‘tidak’ sesungguhnya tidak tepat, yang lebih tepat adalah ‘bukan’ sebab berkaitan dengan kata benda yaitu ‘kau’.
Dari segi nilai rasa, kata ‘tidak’ terasa lebih tegas, lebih bertenaga di bandingkan kata ‘bukan’. Di samping itu, kata ‘tidak’ juga berkaitan dengan kata ‘tak’. Perubahan kata ‘tidak’  pada baris ketiga menjadi ‘tak’ pada baris keempat di dasarkan atas pertimbangan :
a.       Menghindarkan ciri monoton.
b.      Mencapai nilai estetis musikalitas dalam kaitan dengan ‘sedu’ demikian juga dengan kata ‘sedan’. Kata ‘tak’ juga berkaitan dengan itu, sehingga kaliamat, “tak perlu sedu sedan itu” menjadi indah, seperti komposisi musik.
Pada umumnya baris kelima, //Aku ini binatang jalang// dan baris terakhir, // Aku ingin hidup seribu tahun lagi // dianggap menamp[ilkan berbagai interpretasi, sebagai klimaks hasil imaginasi, baik kaitannya dengan proses pilihan kata (diksi), maupun  penafsiran makna (konotasi) yang berhasil ditimbulkan.
Kalimat-kalimat tersebut melekat pada dalam ingatan pembaca, digunakan sebagai motto. Pilihan kata, baik secara semantik sebagai superordinat maupun hiponim, antara kata ‘binatang’  dan ‘jalang’. maupun secara puitis ekuivalensi terasa kuat dan syarat makna. Keberanian Chairil Sebagai pemberontak dalam berkarya sangat tampak.
Sebagai manusia normal, mendapat cacian makian, chairil tetap merasakan sakit. Ini digambarkan dengan ‘Luka dan bisa kubawa berlari. Sungguh perpaduan kata yang indah ditunjukkan lagi, yaitu ‘luka’ dan ‘bisa’. Ini mengandung rima yang kuat.
Chairil tak menghiraukan ejekan, cemoohan terhadap apa yang dilakukannya, dengan gaya repetisi, chairil terus berlari, dan berlari hingga akhirnya diaanggap bisa. Ahkirnya hilang dengan sendirinya.
Baris penutup juga sebagai pernyataan sikap tegas sekaligus kemenangan terhadap konsep yang diperjuangkan. ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi’. Baris tersebut dapat juga berarti, bahwa perjuangannya akan terus diikuti pengarang-pengarang generasi penerusnya. Chairil yakin bahwa apa yang dilakukan akan diikuti oleh Chairil-Chairil yang lain di masa yang akan datang.

     Penutup
Dari analisis berdasarkan sistem tanda, gaya pemilihan kata, penggunaan bahasa kias, pengimajinasian, dan penggunaan bunyi maka dapat penulis  simpulkan bahwa makna puisi tersebut sebagai berikut:
Aku (Chairil Anwar).
Kalau sampai waktuku (saatnya, Chairil Anwar melakukan perubahan, terutama dalam kreativitasnya membuat puisi. Chairil membuat puisi bebas. Puisi yang tidak lagi terikat, puisi yang tidak lagi mementingkan segi bentuk melainkan lebih mementingkan segi isi). Kumau tak seorang kan merayu (Tidak ada yang bisa mempengaruhi Chairil Anwar dalam berkarya mencipta karya sastra puisi). Tidak juga kau (Kau dapat diartikan yaitu para pengarang pada waktu itu). Tak perlu sedu sedan itu ( Apa yang dilakukan Chairil itu tidak perlu disedihkan).
Aku ini binatang jalang (Chairil menamakan dirinya binatang jalang, artinya pengarang yang liar) Dari kumpulannya terbuang (tidak sama dengan pengarang-pengarang lainnya pada waktu itu. Pengarang yang membuat puisi diikat oleh aturan-aturan bentuk. Pantun dan syair yang harus dengan syarat-syarat bait, baris, jumlah suku kata, sampiran-isi, dan rimanya ).
Biar peluru menembus kulitku (meskipun ejekan, cacian, makian, dan cemoohan,  dirasakan sakit). Aku tetap meradang menerjang (Chairil Anwar tetap tidak mempedulikan, Chairil Anwar tetap berkarya sebagaimana keinginannya, yaitu membuat puisi tidak lagi mementingkan segi bentuk tetapi lebih mementingkan segi isi).
Luka dan bisa (ejekan, cacian, makian, dan cemoohan yang menyakitkan) kubawa berlari (oleh Chairil Anwar diabaikan, dianggap tidak ada apa-apa, anjing menggonggong kafilah berlalu). Berlari (terus dan terus diabaikan). Hingga hilang pedih perih (sampai ejekan, cacian, makian, dan cemoohan berhenti dengan sendirinya). Dan aku akan lebih tidak perduli (akhirnya Chairil Anwar lebih tidak menghiraukan lagi, ejekan, cacian, makian, dan cemoohan itu). Aku mau hidup seribu tahun lagi (Chairil Anwar akan terus, dan terus berkarya membuat puisi dengan caranya sendiri, membuat puisi yang tidak hanya mementingkan segi bentuk melainkan lebih mementingkan segi isi). Bahkan apa yang Chairil lakukan akan diikuti oleh Chairil-Chairil yang lain.

Daftar Pustaka
Aminuddin. 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Kemdikbud. Kurikulum 2013. http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-4
Junus, Umar.1989. Stilistika, Suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Maulana, Soni Farid.2012. Apresiasi & Proses Kreatif Menulis Puisi. Jakarta: Nuansa.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika, Kajian Puitika Bahasa Sastra, dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Waluyo, Herman. J. 1987. Teori dan Apresiasi puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek, Rene, dan Warren, Austin. 1990. Teori Kesusasteraan.

1 komentar: