REVOLUSIONER CHAIRIL ANWAR MELALUI PUISI
AKU
(Kajian Stilistika sebuah Aplikasi Apresiasi Puisi pada
Program Peminatan Kurikulum SMA 2013)
Oleh:
DASIMAN
Staf pengajar di SMA Negeri 1 Pecangaan Jepara, Unisnu Jepara, Unissula Semarang,
PGPAUD-PGSD UPBJJ-UT Semarang.
Staf pengajar di SMA Negeri 1 Pecangaan Jepara, Unisnu Jepara, Unissula Semarang,
PGPAUD-PGSD UPBJJ-UT Semarang.
(Makalah Ini Telah Dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional Unissula Semarang 2013,
bersama pemakalah:
Prof, Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
Prof. Dr. Rustono, M.Hum.
Dr. Teguh Supriyanto, M.Hum.
Dr. Maman S, Parman, M.Hum.
bersama pemakalah:
Prof, Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
Prof. Dr. Rustono, M.Hum.
Dr. Teguh Supriyanto, M.Hum.
Dr. Maman S, Parman, M.Hum.
SARI
Kekurangberhasilan pembelajaran apresiasi puisi disebabkan guru masih senang menyampaikan teori-teori sastra
yang bersifat hafalan, verbal, dan menjenuhkan. Guru kurang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menggeluti puisi serta melakukan apresiasi. Akibatnya,
siswa kurang memiliki wawasan pengalaman dalam interpretasi. Hasil belajar,
siswa kurang mampu memberikan apresiasi terhadap puisi. Untuk itu, penulis
menyajikan model apresiasi puisi dengan kajian stilistika sebuah aplikasi apresiasi puisi pada program peminatan kurikulum
SMA 2013.
Permasalahan kajian dalam artikel konseptual ini yaitu 1) bagaimanakah
kajian stilistika dalam aplikasi apresiasi
puisi pada program peminatan kurikulum
SMA 2013? 2) bagaimanakah revolusioner Chairil Anwar melalui puisi Aku? Tujuan penulisan artikel konseptual
ini adalah 1) menerapkan prinsip-prinsip
kajian stilistika dalam apresiasi puisi, 2) menemukan revolusioner Chairil Anwar dalam
puisi Aku.
Artikel konseptual
ini menggunakan data empiris dan kajian
pustaka. Data empiris menjadi dasar melakukan kajian,
Sedangkan, kajian pustaka untuk mendapatkan solusi menjawab permasalahan. Hasil kajian
adalah 1) puisi Aku
menjadi simbol revolusioner penulisan puisi baru di Indonesia. Chairil melakukan pendobrakan untuk keluar dari norma-norma penulisan puisi lama.
Kata kunci: Puisi Aku Stilistika
Kurikulum 2013
Pendahuluan
Salah satu kompetensi inti program
peminatan pada kurikulum 2013 dalam pembelajaran apresiasi puisi, yaitu mengolah,
menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri dan mampu
menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan (Lampiran 5A Kurikulum 2013). Mencermati
muatan kompetensi inti kurikulum 2013 khususnya KD
pembelajaran apresiasi puisi tersebut, guru dituntut untuk lebih mengembangkan
wawasan dalam mengapresiasi puisi. Di samping itu, guru juga harus pandai
mengemas pembelajaran apresiasi puisi secara menyenangkan.
Terkait pembelajaran apresiasi
puisi selama ini, guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa melakukan
apresiasi. Guru masih senang menyampaikan teori-teori sastra
yang bersifat hafalan, verbal, dan menjenuhkan. Kenyataan seperti itu sudah
lama bahkan sampai sekarang masih terjadi. Hal itu makin membenarkan pendapat Winarti (2006:45) di dalam jurnal bahwa pembelajaran sastra menjadi
makin menonjol ketika guru menghindari materi sastra yang bersifat apresiatif
dan menggantinya dengan teori sastra, bahkan ada yang meninggalkan sama sekali.
Bentuk evaluasi yang dilakukannya pun masih pada
tataran teori dan kurang atau bahkan belum sampai pada tataran praktik. Itulah
data empiris pembelajaran apresiasi puisi yang banyak dilakukan guru Bahasa dan
Sastra Indonesia selama ini.
Ada dua masalah
yang berkaitan dengan pembelajaran apresiasi puisi di sekolah. Kedua masalah itu antara lain
1) siswa pada umumnya mengalami kesulitan melakukan
interpretasi dalam menentukan makna puisi, 2) siswa kurang memiliki wawasan dalam mendekati puisi. Kedua masalah tersebut disebabkan oleh adanya
strategi pembelajaran sastra yang kurang memberi peluang siswa melakukan
apresiatif.
Faktor
pembelajaran membaca puisi yang kurang memberi peluang siswa melakukan
apresiatif. Karena
pembelajaran bersifat teoretis, individualis, hafalan,
dan verbal. Pembelajaran pada
akhirnya monoton, kurang menarik, dan membosankan. Itulah fakta paling berpengaruh terhadap keberhasilan tujuan
pembelajaran apresiasi puisi. Hal ini
disebabkan oleh pentingnya peran guru dalam mengelola proses pembelajaran. Guru yang kreatif akan mampu mengelola pembelajaran sastra yang
apresiatif, kolaboratif dan rekreatif.
Permasalahan
Permasalahan kajian dalam artikel konseptual ini yaitu:
1) Bagaimanakah kajian stilistika dalam aplikasi apresiasi puisi pada program peminatan kurikulum SMA 2013?
2) Bagaimanakah revolusioner Chairil Anwar melalui puisi Aku?
Hasil dan Pembahasan
Permasalahan kajian dalam artikel konseptual ini yaitu:
1) Bagaimanakah kajian stilistika dalam aplikasi apresiasi puisi pada program peminatan kurikulum SMA 2013?
2) Bagaimanakah revolusioner Chairil Anwar melalui puisi Aku?
Hasil dan Pembahasan
Puisi Aku merupakan puisi yang monumental. Karya
sastra puisi yang melegenda sebagai pembaharu perpuisian di Indonesia. Puisi aku sungguh luar biasa.
Kata-katanya biasa, namun menjadi polemik yang tak akan habis untuk dikupas,
dikaji, dinikmati, direnungkan. Puisi Aku betul-betul puisi yang memiliki daya magis.
Itulah kehebatan Chairi Anwar sebagai revolusioner di bidang puisi.
Puisi Aku karya Chairil Anwar sudah banyak
yang mengupas, dengan berbagai pendekatan. Hasil kupasannya pun beraneka ragam.
Ada yang menyebut bahwa puisi itu berisi (1) pernyataan putus cinta penyairnya
terhadap seorang wanita, atau dalam menghadapi masalah
yang berat (Soni Farid Maulana, 2012:63-64). Ada juga yang menafsirkan
puisi aku isinya tentang (2) kematian
(Imam Syafe’i dan A Syukur Ghozali, 1995:255). Di samping dua interpretasi tersebut, saya masih
menemukan penafsiran yang berbeda. Puisi aku berisi (3) Sebuah harapan akan kemerdekaan
(Nyoman Kutha Ratna, 2009 : 357). Multi interpretasi.
Itulah bentuk puisi. Oleh karena itu pula, penulis ingin mengupas
puisi Aku dengan pendekatan yang
berbeda dengan yang lain, yaitu kajian dengan pendekatan stilistika.
Stilistika
berasal dari bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari bahasa serapan “linguistic” yang berarti tata bahasa.
Stilistika menurut kamus Bahasa Indonesia yaitu Ilmu kebahasaan yang mempelajari gaya bahasa. Sedangkan
menurut C. Bally, Jakobson, Leech, Widdowson, Levin, Ching, Chatman, C Dalan
menentukan stilistika sebagai suatu deskripsi linguistik dari bahasa yang
digunakan dalam teks sastra. Bagi Leech, stilistik adalah simple defind as the (linguistic) study of style. Wawasan demikian
sejalan dengan pernyataan Cummings dan Simmons bahwa studi bahasa dalam teks sastra merupakan…branch of linguistic called stylistic. Dalam konteks yang lebih
luas, bahkan Jakobson beranggapan bahwa poetics
(puitika) sebagai teori tentang sistem dan kaidah teks sastra sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari Linguistic. Bagi Jakobson Poetics deals with problem of verbal structure, just as he analysis of
painting is concered with pictorial structure since linguistics is the global science of verbal structur,
poetics may be regarded as an integral of linguistic ( dalam Amminuddin :1995
:21).
Berbeda dengan
wawasan di atas, Chvatik mengemukakan Stilistika sebagai kajian yang menyikapi
bahasa dalam teks sastra sebagai kode estetik dengan kajian stilistik yang
menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagaimana bahasa menjadi objek kajian
linguistik (Aminuddin :1995 :22). Sedangkan menurut Rene Wellek dan Austin
Warren, Stilistika perhatian utamanya adalah kontras system bahasa pada
zamannya (Wellek dan Warren : 1990 : 221).
Bertolak dari
berbagai pengertian di atas, Aminuddin mengartikan stilistika sebagai studi
tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin
disampaikan dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang dijadikan
sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya. Walaupun fokusnya hanya pada wujud
sistem tanda
untuk memperoleh pemahaman tentang ciri penggunaan sistem tanda bila dihubungkan dengan cara pengarang
dalam menyampaikan gagasan. Pengkaji perlu juga memahami 1) gambaran objek/peristiwa, 2) gagasan, 3) ideologi yang
terkandung dalam karya sastranya (Aminuddin : 1995 :46).
Kajian
Stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif.
Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang
dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud
penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat
dipertanggungjawabkan. Landasan empirik merujuk
pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila
dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian
stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati, memahami, dan menghayati sistem tanda yang digunakan
dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang
ingin diungkapkan oleh pengarang. Dari
penjelasan selintas tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis yang dilakukan dalam
apresiasi puisi meliputi :
1. Analisis tanda baca yang digunakan pengarang.
2. Analisis hubungan antara sistem tanda yang satu dengan yang lainnya.
3. Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang
ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin: 1995
:98).
Kaitannya dengan kritik sastra, kajian
stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang
bersifat impresionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika ini diharapkan
dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria objektifitas dan keilmiahan (Aminuddin :1995 : 42).
Pada kajian sastra ini prosedur
analisis yang digunakan dalam kajian stilistika, diantaranya :
1. Analisis aspek gaya dalam karya sastra.
2. Analisis aspek-aspek kebahasaan seperti manipulasi
paduan bunyi, penggunaan tanda baca dan cara penulisan.
3. Analisis gagasan atau makna yang dipaparkan dalam
karya sastra (Aminuddin : 1995 :42-43). Perhatikan Puisi Aku
karya Chairil Anwar berikut!
Aku
Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Deru Campur Debu, 1963:7).
1. Analisis
Sistem Tanda yang Digunakan Pengarang
Puisi Aku karya Chairil Anwar di
atas bila diperhatikan hampir semuanya berupa paparan gagasan dalam komunikasi
keseharian. Namun,
jika ditinjau lebih lanjut dalam setiap kata, larik, bait, dan tanda yang
digunakan, Puisi Aku
memiliki beban maksud penutur.
Misalnya pada larik “Aku ini binatang jalang” dapat menuansakan
gagasan kehidupan bebas, tidak terikat. Serta penggunaan lambang jalang
biasanya mengacu pada hewan yang liar yang tidak mau, tidak mudah diatur.
Di sini pengarang
ingin memberikan efek emotif bahwa manusia pada hakikatnya ingin bebas,
merdeka, tanpa ada pengaruh. Ini dapat diartikan juga, Chairil Anwar dalam kepengarangannya
ingin bebas dari belenggu penciptaan karya sastra pada waktu itu. Pada masa
itu, anggatan 20-an dan 30-an, membuat puisi sudah ada patron atau bentuk yang baku. Bentuk itu antara lain pantun dan syair.
Kedua jenis puisi
itu, pantun
dan syair lebih mementingkan segi bentuk dibandingkan segi
isi. Padahal, karya sastra tanpa isi
adalah omomg kosong. Oleh karena itu, Chairil melakukan pemberontokan terhadap
tradisi itu. Chairil ingin membuat puisi yang tidak dibatasi oleh bentuk, tetapi puisi yang sarat dengan isi puisi.
2.
Analisis Gaya Pemilihan Kata
Gaya pemilihan
kata pada dasarnya digunakan pengarang untuk memberikan efek tertentu serta
untuk penyampaian gagasan secara tidak langsung sehingga memiliki kekhasan
tersendiri. Pada puisi Aku karya Chairil Anwar semuanya menggunakan kata-kata yang biasa
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kalau kita cermati hampir
semuanya merupakan bentuk manipulasi penggunaan kata. Karena kata-kata yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari dalam puisi itu ternyata bukan makna sebenarnya
melainkan memiliki makna tersendiri. Hal itu dapat diinterpretasikan sebagai
berikut :
Aku (Penulisnya sendiri, Chairil
Anwar).
Kalau sampai waktuku
(saatnya, Chairil Anwar melakukan
perubahan, terutama dalam kreativitasnya membuat puisi tidak lazimnya puisi pada waktu itu yang berbentuk pantun dan syair. Puisi yang lebih mementingkan segi bentuk dibandingkan segi isi. Chairil mencba membuat puisi bebas. Puisi yang tidak lagi
mementingkan segi bentuk melainkan lebih mementingkan segi isi). Kumau
tak seorang kan merayu (Tidak ada
yang bisa mempengaruhi Chairil Anwar dalam berkarya mencipta karya sastra puisi).
Tidak juga kau (Kau dapat diartikan yaitu para pengarang pada waktu itu). Tak perlu sedu sedan itu ( Apa yang
dilakukan Chairil itu tidak perlu disedihkan).
Aku ini binatang jalang (Chairil menamakan dirinya binatang jalang,
artinya pengarang yang liar) Dari
kumpulannya terbuang (tidak sama
dengan pengarang-pengarang lainnya pada waktu itu. Pengarang yang membuat puisi
diikat oleh aturan-aturan bentuk. Pantun dan syair yang harus dengan
syarat-syarat bait, baris, jumlah suku kata, sampiran-isi, dan rimanya).
Biar peluru menembus kulitku (meskipun ejekan, cacian, makian, dan
cemoohan, dirasakan sakit). Aku
tetap meradang menerjang (Chairil Anwar tetap tidak mempedulikan, Chairil
Anwar tetap berkarya sebagaimana keinginannya, yaitu membuat puisi tidak lagi
mementingkan segi bentuk tetapi lebih mementingkan segi isi).
Luka dan bisa (ejekan, cacian, makian, dan cemoohan yang
menyakitkan) kubawa berlari (oleh Chairil Anwar diabaikan,
dianggap tidak ada apa-apa, anjing menggonggong kafilah berlalu). Berlari
(terus dan terus diabaikan). Hingga hilang pedih perih (sampai ejekan,
cacian, makian, dan cemoohan berhenti dengan sendirinya). Dan aku
akan lebih tidak perduli (akhirnya Chairil Anwar lebih tidak menghiraukan
lagi, ejekan, cacian, makian, dan cemoohan itu). Aku mau hidup seribu tahun lagi (Chairil
Anwar akan terus, dan terus berkarya membuat puisi dengan caranya sendiri,
membuat puisi yang tidak mementingkan segi bentuk melainkan lebih mementingkan
segi isi).
3.
Analisis Penggunaan Bahasa Kias
Bahasa kias merupakan penggantian kata
yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perbandingan ataupun analogi ciri
semantis yang umum dengan umum, yang umum dengan yang khusus ataupun yang
khusus dengan yang khusus. Perbandingan ataupun analogi tersebut berlaku secara
proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata
yang dipindahkan dalam menggambarkan citraan maupun gagasan baru (Aminuddin :
1995 : 227).
Kiasan yang dimaksud memiliki
tujuan untuk menciptakan efek lebih kaya, lebih efektif, dan lebih subyektif
dalam bahasa puisi. Pada puisi Chairil Anwar kiasan yang banyak digunakan
adalah metafora yakni kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan langsung
itu tidak disebutkan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan. Contoh klasik :
Lintah darat, bunga bangsa, kambing hitam dan sebagainya (Herman J. Waluyo : 1987
: 84). Dalam “Aku” Chairil Anwar, “Aku ini binatang jalang” dapat
diartikan seorang Chairil Anwar sebagai pengarang menyamakan dirinya sebagai
mana binatang jalang, binatang yang liar. Ini berarti menggunakan gaya
pengungkapan metafora.
Metafora yang terkandung dalam baris kelima
dan keenam ini jelas sangat khas, berani, dan revolusioner. Sifat ini jelas
dalam pendobrakan dalam pembaharuannya menciptakan karya sastra puisi.
“Dari kumpulannya terbuang” di sini
ada majas hiperbola seolah tidak dibutuhkan. Majas inilah sebagai tanda bahwa
Chairil Anwar mempunyai pendirian yang teguh, berjiwa muda pantang menyerah
dalam mempertahankan idealismenya. Meski untuk itu, dibutuhkan pengorbanan yang
luar biasa, dengan konsekuensi dikucilkan, diasingkan dari kumpulannya yaitu
oleh pengarang-pengarang pada waktu itu.
”Biar peluru menembus kulitku” sebuah
ungkapan yang luar biasa tepat untuk mengungkap sebuah kesiapan terhadap
ejekan, cemoohan terhadap pembaharuan kepengarangan yang telah dilakukan.
“Aku ingin hidup seribu tahun lagi”
inilah sebuah
ungkapan yang jauh luar biasa sehingga melegenda, bahkan menjadi mitos untuk
mengungkap bahwa pembaharuannya akan diteruskan oleh Chairil Anwar -Chairil
Anwar yang lain meski Chairil Anwar
telah meninggal meninggal. Oleh karena itu, saya sependapat bahwa keberhasilan Chairil Anwar
dalam mencipta puisi (Nyoman Kutha Ratna, 2009 : 353) ditunjukkan oleh beberapa faktor, di
antaranya :
a. representasi visual melalui kebaruan bentuk,
komposisi, susunan baris, dan bait.
b. efesiensi bahasa, penggunaan kata-kata secara
singkat, sederhana tetapi penuh energi.
c. pembawa aliran baru
sebagai ekspresionalisme.
d. keberhasilannya untuk
menggugah emosi pembaca.
4.
Pengimajinasian
Pengimajinasian
ini terlihat pada citraan yang diciptakan. Ada hubungan erat antara diksi,
pengimajinasian, dan data konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan
pengimajinasian dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti kita
hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa.
Baris-baris puisi “Aku” Chairil Anwar menunjukkan adanya
pengimajian secara visual (melukiskan sesuatu melalui imaji penglihatan yang
dipadu dengan rasa). Memang untuk bisa menangkap pesan, diperlukan bekal
sejarah, bahkan paham latar puisi itu dicipta, serta didukung daya kepekaan.
Tanpa itu, sulit bisa menangkap gagasan spektakuler Chairil Anwar.
Penanda yang ada,
“Aku
ini binatang Jalang, dan Dari kumpulannya terbuang”. Kalau
pembaca yang tidak memiliki daya pengimajinasian tinggi, saya yakin, mustahil
pembaca akan bisa menemukan hakikat makna ‘binatang jalang dari kumpulannya terbuang’.
5.
Analisis penggunaan bunyi
Dalam analisis
bunyi bahasa puisi, penulis sependapat dengan (Nyoman Kutha Ratna, 2009 :
358-359). Dalam karya sastra, khususnya puisi pesanlah yang dominan, yang pada
gilirannya memicu pengarang untuk melakukan pemilihan terhadap kata-kata yang
paling tepat untuk mewakili pesan-pesan tersebut. Ekuivalensi ini tidak
terbatas pada sinonim kata-kata, tetapi juga meliputi bunyi, morfologi,
sintaksis, dan semantis.
Baris pertama //Kalau
sampai waktuku// yang hanya terdiri dari tiga kata jelas
mengandung khas seperti di atas. Pesan
yang dimaksudkan juga diperoleh melalui pemilihana kata yang khas, di antaranya
menemukan makna yang paling optimal di antara kata-kata yang dianggap memiliki
sinonim. Cara ini tentu tidak mudah, sebab seperti di atas, di samping padanan
kata juga harus mempertimbangkan aspek bunyi, tata bahasa, estetika, dan
sebagainya. Kata ‘kalau’ bersinonim dengan kata jika, bila, seandainya,
andaikata, seandainya, umpama, misalnya. Kata yang paling dekat bersinonim
dengan kata kalau yaitu jika. Hanya kata jika tidak bersajak, tidak memiliki
persamaan bunyi dengan kata-kata yang mengikutinya. Dengan kata lain, secara
estetis kata-kata tersebut memiliki kualitas yang berbeda. Dalam puisi, justru
aspek terakhir menjadi dominan.
Satu-satunya
padanan kata ‘sampai’ adalah ‘tiba’ . Padanan kata ‘waktu’ adalah ‘saat’,
‘masa’, ‘hari’, ;jam’. Padanan kata yang paling dekat adalah ‘saat’ tetapi
tidak bersajak. Oleh karena itu, kata yang dipilih ‘waktu’ dan ‘kalau’. Di
samping itu, vokal rangkap dalam kata ‘kalau’ /au/ ada persamaannya dengan
‘sampai’ /ai/, juga ada kaitan dengan baris kedua , ‘mau’ /au/ dan baris ketiga
‘kau’ /au/. Penggunaan ‘ku (dengan apostrof), bukan ‘aku’ dimaksudkan agar ada
kaitan dengan ‘kan bukan ‘akan’. Menurut tata bahasa kata ‘tidak’ sesungguhnya
tidak tepat, yang lebih tepat adalah ‘bukan’ sebab berkaitan dengan kata benda
yaitu ‘kau’.
Dari segi nilai
rasa, kata ‘tidak’ terasa lebih tegas, lebih bertenaga di bandingkan kata
‘bukan’. Di samping itu, kata ‘tidak’ juga berkaitan dengan kata ‘tak’.
Perubahan kata ‘tidak’ pada baris ketiga
menjadi ‘tak’ pada baris keempat di dasarkan atas pertimbangan :
a. Menghindarkan ciri monoton.
b. Mencapai nilai estetis musikalitas dalam kaitan
dengan ‘sedu’ demikian juga dengan kata ‘sedan’. Kata ‘tak’ juga berkaitan
dengan itu, sehingga kaliamat, “tak perlu sedu sedan itu” menjadi indah,
seperti komposisi musik.
Pada umumnya baris kelima, //Aku ini
binatang jalang// dan baris terakhir, // Aku ingin hidup seribu tahun lagi //
dianggap menamp[ilkan berbagai interpretasi, sebagai klimaks hasil imaginasi,
baik kaitannya dengan proses pilihan kata (diksi), maupun penafsiran makna (konotasi) yang berhasil
ditimbulkan.
Kalimat-kalimat tersebut melekat pada
dalam ingatan pembaca, digunakan sebagai motto. Pilihan kata, baik secara
semantik sebagai superordinat maupun hiponim, antara kata ‘binatang’ dan ‘jalang’. maupun secara puitis
ekuivalensi terasa kuat dan syarat makna. Keberanian Chairil Sebagai
pemberontak dalam berkarya sangat tampak.
Sebagai manusia normal, mendapat
cacian makian, chairil tetap merasakan sakit. Ini digambarkan dengan ‘Luka dan
bisa kubawa berlari. Sungguh perpaduan kata yang indah ditunjukkan lagi, yaitu
‘luka’ dan ‘bisa’. Ini mengandung rima yang kuat.
Chairil tak menghiraukan ejekan,
cemoohan terhadap apa yang dilakukannya, dengan gaya repetisi, chairil terus
berlari, dan berlari hingga akhirnya diaanggap bisa. Ahkirnya hilang dengan
sendirinya.
Baris penutup juga sebagai pernyataan
sikap tegas sekaligus kemenangan terhadap konsep yang diperjuangkan. ‘Aku mau
hidup seribu tahun lagi’. Baris tersebut dapat juga berarti, bahwa
perjuangannya akan terus diikuti pengarang-pengarang generasi penerusnya.
Chairil yakin bahwa apa yang dilakukan akan diikuti oleh Chairil-Chairil yang
lain di masa yang akan datang.
Penutup
Dari analisis berdasarkan sistem tanda,
gaya pemilihan kata, penggunaan bahasa kias, pengimajinasian, dan penggunaan
bunyi maka dapat penulis simpulkan bahwa makna puisi tersebut sebagai berikut:
Aku (Chairil
Anwar).
Kalau sampai waktuku
(saatnya, Chairil Anwar melakukan
perubahan, terutama dalam kreativitasnya membuat puisi. Chairil membuat puisi bebas. Puisi yang tidak lagi
terikat, puisi yang tidak lagi mementingkan
segi bentuk melainkan lebih mementingkan segi isi). Kumau
tak seorang kan merayu (Tidak ada
yang bisa mempengaruhi Chairil Anwar dalam berkarya mencipta karya sastra puisi).
Tidak juga kau (Kau dapat diartikan yaitu para pengarang pada waktu itu). Tak perlu sedu sedan itu ( Apa yang
dilakukan Chairil itu tidak perlu disedihkan).
Aku ini binatang jalang (Chairil menamakan dirinya binatang jalang,
artinya pengarang yang liar) Dari
kumpulannya terbuang (tidak sama
dengan pengarang-pengarang lainnya pada waktu itu. Pengarang yang membuat puisi
diikat oleh aturan-aturan bentuk. Pantun dan syair yang harus dengan
syarat-syarat bait, baris, jumlah suku kata, sampiran-isi, dan rimanya ).
Biar peluru menembus kulitku (meskipun ejekan, cacian, makian, dan
cemoohan, dirasakan sakit). Aku
tetap meradang menerjang (Chairil Anwar tetap tidak mempedulikan, Chairil
Anwar tetap berkarya sebagaimana keinginannya, yaitu membuat puisi tidak lagi
mementingkan segi bentuk tetapi lebih mementingkan segi isi).
Luka dan bisa (ejekan, cacian, makian, dan cemoohan yang
menyakitkan) kubawa berlari (oleh Chairil Anwar diabaikan,
dianggap tidak ada apa-apa, anjing menggonggong kafilah berlalu). Berlari
(terus dan terus diabaikan). Hingga hilang pedih perih (sampai ejekan,
cacian, makian, dan cemoohan berhenti dengan sendirinya). Dan aku
akan lebih tidak perduli (akhirnya Chairil Anwar lebih tidak menghiraukan
lagi, ejekan, cacian, makian, dan cemoohan itu). Aku mau hidup seribu tahun lagi (Chairil
Anwar akan terus, dan terus berkarya membuat puisi dengan caranya sendiri,
membuat puisi yang tidak hanya mementingkan segi bentuk melainkan lebih mementingkan
segi isi). Bahkan
apa yang Chairil lakukan akan diikuti oleh Chairil-Chairil yang lain.
Daftar Pustaka
Aminuddin. 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa dalam
Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Kemdikbud. Kurikulum 2013. http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-4
Junus, Umar.1989. Stilistika, Suatu Pengantar. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Maulana, Soni Farid.2012. Apresiasi &
Proses Kreatif Menulis Puisi. Jakarta: Nuansa.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika, Kajian Puitika Bahasa Sastra,
dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Waluyo, Herman. J. 1987. Teori dan Apresiasi puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek, Rene, dan Warren, Austin. 1990. Teori Kesusasteraan.
Sangat bagus artikelnya..
BalasHapus