BAHASA PEMERSATU BANGSA DAN SASTRA MENGUBAH PERILAKU MANUSIA

DENGAN SEPENUH HATI SESARAT HORMAT

SELAMAT DATANG DI BLOG BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

WAHANA EDUKASI, INFORMASI, MEMBUKA CAKRAWALA LEWAT BAHASA DAN SASTRA

SEMOGA KITA BISA LEBIH BERMAKNA

Dasiman Adnan

Sabtu, 20 September 2014

Delapan Cerpen Pilihan

DELAPAN CERPEN PILIHAN

Delapan cerpen pilihan sebagai bahan apresiasi, analisis, telaah, atau kritik. Kedelapan cerpen itu antara lain: 
1) Daun Terakhir karya O. Henry (Terjemahan Sori Siregar)
2) Jakarta karya Totilawati Tjitrawasita
3) Kado Istimewa karya Jujur Prananto
4) Lima Belas Tahun Tidak Lama karya Motinggo Busye
5) Mangga Arumanis karya Muh. Rustandi Kartakusumah
6) Pelajaran Mengarang karya Seno Gumira Ajidarma
7) Seribu Kunang Kunang di Manhattan karya Umar Kayam
8) Kado Perkawinan karya Hamsad Rangkuti
Cerpen 1
DAUN TERAKHIR
O. Henry (Terjemahan Sori Siregar)

Di sebuah kawasan kecil di bagian barat Washington Square, jalan-jalan raya demikian kacauanya dan jalan-jalan itu terpecah pula menjadi jalur-jalur kecil yang disebut “jalan tembus”. Jalan-jalan tembus tersebut memiliki berbagai sudut dan kelokan yang aneh. Sebuah jalan bisa saja tiba-tiba memotong dirinya di satu atau dua tempat. Sekali, seorang pelukis menemukan kemungkinan yang sangat berharga di jalan ini. Jika seorang penagih yang membawa rekening tagihan cat, kertas dan kanvas masuk ke kawasan itu pastilah ia akan berputar-putar di tempat tanpa berhasil mengumpulkan uang satu sen pun.
Karena itu, ke Greenwich Village yang tua dan aneh para seniman pun bermunculan mencari ujung atap rumah yang menonjol dari abad ke-18 dan jendela yang menghadap ke utara pada loteng rumah yang sewanya murah. Kemudian mereka membawa mangkuk-mangkuk yang terbuat dari campuran timah hitam dan putih serta satu atau dua kompor Sixth Avenue dan jadilah kawasan itu sebuah “koloni”.
Studio milik Sue dan Johnsy terdapat di puncak gedung bertingkat tiga dan berdinding bata merah. “Johnsy” adalah nama panggilan akrab Joanna. Sue berasal dari negara bagian Maine dan Johnsy dari California. Mereka bertemu di “tabled hote” restoran Delmonico’s di Eight Street dan karena cita rasa mereka terhadap seni lukis dan selada chicory kebetulan sama, mereka pun bersama-sama menyewa kamar yang mereka gunakan juga sebagai studio. Itu pada bulan Mei. Pada bulan November, makhluk asing yang dingin dan tak terlihat, yang menurut para dokter namanya Radang Paru-paru seperti es. Di kawasan sebelah timur makhluk perusak ini beroperasi dengan berani dengan menghantam tidak sedikit korban, tetapi kaki makhluk ini melangkah pelan di jalan tembus yang berliku dan sempit ini.
Tuan radang paru-paru bukanlah orang tua yang ksatria. Johnsy dipukulnya sehingga gadis itu terpaksa berbaring hampir-hampir tidak bergerak di pembaringannya menatap jauh melalui jendela yang kecil pada dinding rumah di sebelahnya.
Suatu pagi dokter beralis mata putih yang sibuk itu memanggil Sue ke gang di luar kamarnya.
“Pelungnya satu dalam –katakanlah– sepuluh,” ujarnya sambil mengoyang termometer agar air raksa di dalamnya turun. “Dan peluang itu ada kalau ia ingin hidup. Temanmu telah memutuskan bahwa ia tidak akan sembuh, ada yang mengganggu pikirannya?”
“Ia ingin melukis Teluk Napoli suatu saat nanti,” sahut Sue.
“Melukis? Wah. Apakah dalam pikirannya tidak ada sesuatu yang lebih berharga untuk dilakukan, - berpikir dua kali – tentang laki-laki, misalnya?”
“Ya, kalau begitu ini kelemahan,” ujar dokter itu. “Saya akan melakukan apa yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan, melalui upaya saya. Tapi kalau pasien saya mulai menghitung kendaraan dalam prosesi pemakamannya, saya akan megurangi 50 persen kekuatan penyembuh obat. Kalau Anda dapat membuatnya bertanya tentang model lengan mantel musim dingin yang baru, saya menjanjikan kepada Anda bahwa peluangnya satu dalam lima, bukan satu dalam sepuluh.”
Setelah dokter itu meninggalkannya, Sue masuk ke kamar kerjanya. Kemudian ia berjalan ke kamar Johnsy dengan membawa papan lukisannya sambil bersiul.
Johnsy berbaring dan jarang sekali mengeluarkan suara apa pun ketika menatap jendela. Sue menghentikan siulnya karena menduga Johnsy sedang lelap.
Ia membetulkan letak papan lukisannya dan mulai melukis dengan menggunakan pena untuk membuat ilustrasi tulisan sebuah majalah. Para pelukis muda harus melicinkan jalan mereka untuk mencapai jenjang seni dengan membuat gambar untuk berbagai tulisan di majalah seperti halnya para penulis muda menulis untuk memuluskan jalan mereka menuju kesusasteraan.
Ketika Sue sedang membuat sketsa celana yang bagus untuk penunggang kuda pertunjukan dan sebuah kaca mata untuk sebelah mata bagi sang tokoh, seorang koboi dari Idaho, ia mendengar suara yang sangat pelan berkali-kali. Ia segera menghampiri ranjang.
Mata Johnsy terbuka lebar. Ia menatap keluar jendela dan menghitung-menghitung mundur.
“Dua belas,” katanya dan tak lama kemudian, “sebelas”, lalu “sepuluh”, dan “sembilan”, dilanjutkan dengan “delapan” dan “tujuh” hampir bersamaan.
Sue menatap dengan cemas ke jendela. Apa yang dihitungnya? Yang kelihatan hanyalah halaman kosong yang suram  dan dinding rumah berbata merah enam meter jauhnya. Sebuah tanaman anggur tua yang berkenjal-kenjal dan akarnya membusuk merambat menutup setengah dinding berbata merah itu. Napas dingin musim gugur telah merontokkan daun-daun tanaman anggur itu sehingga kerangka cabang-cabangnya, hampir tanpa daun, kelihatan menjalar di dinding bata merah yang hampir ambruk itu.
“Ada apa, sayang?” tanya Sue.
“Enam,” kata Johnsy dengan suara pelan hampir berbisik. “Saat ini daun-daun itu gugur lebih cepat. Tiga hari lalu jumlahnya hampir seratus. Kepala saya pusing menghitungnya, tetapi sekarang mudah. Selembar daun lagi rontok. Yang tinggal hanya lima lembar lagi.”
“Lima apa, sahabatku? Katakan kepadaku.”
“Daun-daun. Di pohon anggur itu. Kalau lembar daun terakhir rontok, saya juga harus pergi. Sudah tiga hari saya mengetahui itu. Dokter itu tidak mengatakannya kepadamu?”
“Oh, saya tidak pernah mendengar omong kosong seperti itu,” ujar Sue dengan mencemooh. “Apa hubungannya daun tua tanaman anggur itu dengan kondisi kesehatanmu? Dan, selama ini kau suka pada anggur itu, gadis nakal. Jangan mengada-adalah. Mengapa, dokter pagi ini mengatakan kepadaku bahwa peluangmu untuk sembuh dalam waktu dekat – dengarkan apa yang dikatakannya – adalah sepuluh berbanding satu. Ini benar-benar peluang yang hampir sama dengan yang pernah kita nikmati di New York ketika kita naik bus atau berjalan kaki melewati sebuah gedung baru. Cobalah minum air daging dan izinkan aku kembali menggambar agar aku dapat menjual gambar itu kepada redaktur majalah lalu membeli anggur port untukmu dan irisan daging babi untuk diriku yang rakus.”
“Kau tak perlu membeli anggur lagi,” kata Johnsy, sambil terus menatap ke luar jendela. “Selembar lagi telah gugur. Tidak, aku tidak membutuhkan air kaldu. Daun itu tinggal empat lembar lagi. Saya ingin menyaksikan lembar daun terakhir rontok sebelum hari gelap. Kemudian saya juga akan pergi.”
“Johnsy, sabahatku,” ujar Sue sambil membungkuk ke arah Johnsy. “Maukah kau berjanji kepadaku, kau akan terus menutup matamu dan tidak melihat ke luar jendela hingga saya selesai menggambar? Saya harus menyerahkan gambar ini besok. Saya membutuhkan cahaya terang atau saya akan menurunkan kerai.”
“Kau tidak dapat menggambar di kamar lain?” tanya Johnsy dingin.
“Saya lebih suka di sini di sampingmu,” sahut Sue. “Selain itu, saya tidak ingin kau terus-menerus memandang daun-daun anggur itu.”
“Tolong katakan begitu kau selesai bekerja,” kata Johnsy sambil menutup matanya dan berbaring tenang dengan selimut putih, diam tak bergerak bagaikan patung yang runtuh, “karena saya ingin menyaksikan gugurnya daun terakhir. Saya sudah bosan menunggu. Saya sudah capek berpikir. Saya ingin melepaskan segalanya dan pergi berlayar, seperti salah satu lembar daun yang lelah dan malang itu.”
“Cobalah tidur,” kata Sue. “Saya harus memanggil Behrman untuk naik ke sini untuk menjadi model sebagai pekerja tambang tua itu. Saya tidak akan pergi lama. Jangan bergerak sebelum saya kembali.”
Behrman tua adalah pelukis yang tinggal di lantai dasar di bawah mereka. Usianya telah mencapai 60 tahun dan janggutnya yang mirip janggut Nabi Musa dalam karya Michael Angelo itu menggantung dengan subur. Behrman adalah pelukis yang gagal. Empat puluh tahun ia telah menggunakan kuas tanpa pernah dapat menghasilkan yang dikehendakinya. Ia senantiasa berupaya melahirkan mahakarya tetapi tetap saja tak pernah dimulainya. Selama beberapa tahun ia tidak melukis apa pun kecuali sesekali dengan beberapa polesan untuk komersial atau iklan. Ia mencari nafkah dengan berfungsi sebagai model bagi para pelukis muda di koloni itu karena mereka tidak mampu membayar model profesional. Ia menenggak minuman keras secara berlebihan dan setelah itu masih saja ia bicara tentang mahakaryanya yang akan datang. Seain itu, ia hanya seorang tua bertubuh kecil yang galak yang sangat mengejek kelembutan siapa saja dan menganggap dirinya sebagai pengawal khusus untuk melindungi kedua pelukis muda yang berdiam di lantai atas.
Sue menemui Behrman yang menyebarkan aroma minuman keras di kamarnya yang diterangi cahaya remang-remang di lantai bawah.
Di salah satu sudut kamarnya terdapat sebuah kanvas kosong pada kuda-kuda, kanvas yang telah menunggu selama 25 tahun untuk mendapatkan goresan pertama dari sebuah mahakarya. Sue mengutarakan kepadanya tentang khayalan Johnsy dan bagaimana Johnsy khawatir ia benar-benar ringan dan rapuh sebagai daun yang ditatapnya, terombang-ambing ketika pegangannya terhadap dunia semakin lemah.
Behrman yang bermata merah berteriak mengungkapkan kemuakan dan ejekannya terhadap khayalan bodoh seperti itu.
“Vass!” ia berteriak. “Apakah ada orang di dunia ini menjadi begitu tolol dan ingin mati hanya karena daun-daun gugur dari batang anggur terkutuk itu? Saya tidak pernah mendengar kejadian seperti itu. Tidak, saya tidak akan mau berpose lagi untukmu sebagai model pertapa tua yang dungu itu. Kau membiarkan saja pikiran tolol itu masuk ke dalam kepalanya. Akh, Miss Johnsy kecil yang malang.”
“Ia sakit keras dan sangat lemah,” kata Sue, “dan demam panas itu telah membuat pikirannya abnormal dan penuh dengan khayalan aneh. Baiklah, Tuan Behrman, kalau Anda tidak lagi mau berpose untuk saya, tidak apa-apa. Tapi saya pikir Anda adalah orang tua yang membosankan dan tidak karuan.”
“Kamu ini benar-benar seperti wanita,” Behrman berteriak. Siapa yang mengatakan saya tidak mau berpose untukmu. Silakan. Saya akan datang. Selama setengah jam saya akan berpose. Tempat ini tidak seperti di tempat lain karena di sini orang sebaik Miss Johnsy kini terbaring dalam keadaan sakit. Suatu saat nanti saya akan membuat sebuah mahakarya dan kita semua akan pergi dari sini.”
Johnsy sedang tidur ketika mereka naik ke lantai atas. Sue menurunkan kerai dan menarik Behrman ke kamar lain. Di sana mereka menatap dari jendela dengan rasa takut ke arah tanaman anggur itu. Kemudian mereka saling memandang beberapa saat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Hujan turun tak henti-hentinya dibarengi salju. Behrman, dengan kemeja tuanya mengambil tempat dan duduk sebagai buruh tambang pertapa pada sebuah cerek yang berfungsi sebagai sebuah batu.
Ketika Sue terbangun dari tidurnya selama satu jam pada pagi hari berikutnya, ia menemukan Johnsy dengan mata kuyu yang terbuka lebar menatap kerai yang belum ditarik.
“Tariklah, saya ingin melihat,” perintahnya dengan suara berbisik. Dengan malas Sue mematuhi perintahnya. Aneh, setelah hujan yang tak henti-hentinya mencurah dan angin kencang yang memukul-mukul sepanjang malam, selembar daun anggur masih tetap bertengger di ranting yang melekat di dinding berbata merah itu. Itulah daun terakhir. Dengan masih tetap berwarna hijau tua di dekat tangkainya, dan pinggirnya yang mulai kekuningan karena akan membusuk, daun itu tergantung dengan kokoh pada cabang pohon kira-kira enam meter di atas tanah.
“Itulah daun terakhir,” ujar Johnsy. “Saya pikir daun itu akan gugur malam tadi. Saya mendengar suara angin. Daun itu akan gugur malam ini dan pada waktu yang sama saya akan menutup mata untuk selamanya.”
“Sahabatku, sahabatku,” ujar Sue, sambil mendekatkan wajahnya ke bantal. “Pikirkanlah saya kalau kau tidak mau memikirkan dirimu sendiri. Apa yang saya lakukan?”
Johnsy tidak menyahut. Sesuatu yang paling merasakan arti sunyi di dunia ini adalah jiwa ketika jiwa itu telah bersiap untuk menempuh perjalanan yang misterius dan jauh. Khayalan tampaknya merangkulnya dengan erat ketika satu persatu hubungan yang mengikatnya dengan persahabatan dan dunia melonggar.
Hari berangkat tua, walaupun demikian di ambang senja mereka masih dapat menyaksikan daun anggur yang selembar itu melekat di rantingnya yang menjalar di tembok. Dan kemudian, dengan datangnya malam, angin dari utara kembali berhembus, sementara hujan terus-menerus memukul jendela.
Ketika angin dan hujan reda, Johnsy memeberi perintah agar kerai ditarik. Daun anggur itu masih tetap di sana. Johnsy lama berbaring sambil menatap daun itu. Kemudian ia memanggil Sue yang sedang mengaduk-aduk air kaldu ayam di atas kompor.
“Saya telah menjadi gadis nakal, Sue,” ujar Johnsy. “sesuatu telah membuat agar daun terakhir itu tetap melekat di sana untuk memperlihatkan kepada saya betapa jahatnya saya. Menginginkan kematian adalah dosa. Sekarang berilah saya sedikit air kaldu dan susu, oh tidak, ambilkan lebih dulu cermin tangan dan susunlah bantal di sekitarnya agar saya dapat duduk dan melihatmu memasak.
Satu jam kemudian ia berkata, “Sue, suatu ketika nanti saya berharap akan dapat melukis Teluk Napoli.”
Dokter datang sore harinya, dan Sue punya alasan untuk pergi ke gang ketika dokter itu meninggalkan pasiennya.
“Peluang seimbang,” ujar dokter itu sambil memegang tangan Sue yang kurus dan gemetar. “Dengan perawatan yang baik Anda akan menang. Sekarang saya harus memeriksa kasus lain di lantai bawah. Behrman, begitu namanya – saya kira dia seorang seniman. Juga kena pneumonia. Ia seorang tua yang lemah dan serangannya akut. Baginya tidak ada harapan; tetapi ia masuk ke rumah sakit hari ini agar tidak terlalu menderita.”
Hari berikutnya dokter berkata kepada Sue, “Ia terlepas dari bahaya. Anda menang. Yang diperlukan sekarang hanyalah gizi dan perhatian – itu saja.”
Dan petang itu Sue menghampiri ranjang tempat Johnsy berbaring sambil merajut syal wol berwarna biru tua.
“Saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu, tikus putih,” katanya. “Tuan Behrman hari ini meninggal di rumah sakit karena radang paru-paru. Ia hanya dua hari sakit. Portir menemukannya pada pagi hari di kamarnya di lantai bawah tak berdaya karena sakit. Pakaian dan sepatunya basah dan sangat dingin. Orang-orang di rumah sakit tidak dapat membayangkan ke mana ia pergi pada malam yang menakutkan itu. Dan kemudian mereka menemukan lentera masih menyala dan tangga yang dibawanya dari kamarnya, sejumlah kuas yang berserak di sana-sini dan sebuah palet yang penuh dengan campuran warna hijau dan kuning, dan tataplah ke luar jendela, sahabatku. Lembar teakhir daun anggur di dinding tembok itu. Tidakkah kau heran mengapa daun itu tidak pernah bergoyang atau bergerak ketika angin berhembus. Ah, sayangku, itulah mahakarya Behrman – ia melukis daun itu di sana pada malam daun terakhir gugur ke bumi.”
(Horison, Tahun XXXI, No.5, Mei 1997 hal. 41-44)

Cerpen 2
J A K A R T A
Totilawati Tjitrawasita

            Ketika penjaga menyodorkan buku tamu, hatinya tersen­til. Alangkah anehnya, mengunjungi adik sendiri harus mendaftar, padahal seingatnya, dia bukan dokter. Sambil memegang buku itu dipandangnya penjaga itu dengan hati-hati, kemudian pelan dia bertanya, “Semua harus mengisi buku ini? Sekalipun saudara atau ayahnya, umpamanya?”
            Yang ditanya hanya mengangguk, menyodorkan bolpoin. “Silakan tulis: nama, alamat, dan keperluan,” katanya.
            Tiba-tiba timbul keinginannya untuk berolok-olok. Sambil menahan ketawa ditulisnya di situ: nama: Soeharto (bukan Presiden). Keperluan: urusan keluarga.
            “Cukup?” katanya sambil menunjukkan apa yang ditulisnya kepada penjaga. “Lelucon, lelucon, katanya berulang-ulang sambil menepuk-nepuk punggung penjaga yang terlon­gok-longok heran.
            “Dia tahu, siapa saya,” ujarnya menjelaskan.
            “Tanda tangannya belum, Tuan. Dan alamatnya?”
            Betul juga, ada gunanya juga menjelaskan identitasnya agar tuan rumah tahu dan memberikan sambutan yang hangat atas kedatangannya. Maka ditulisnya di bawah tanda tan­gannya, lengkap: Waluyo ANOTOBOTO. Nama keluarganya sengaja dibikin kapital semua, diberi garis tebal di bawahnya. Sekali lagi dia tersenyum, rasa bangga terukir di wajahnya.
            “Begini?” tanyanya seperti meminta pertimbangan penja­ga.
            Terbayang adik misannya tergopoh-gopoh membuka pintu, lalu menyerbunya dengan segala rasa rindu, sambil melem­par macam-macam pertanyaan kepadanya, “Bagaimana Embok, Bapak? Tinah, anaknya sudah berapa?” Kemudian dilihatnya diri sendiri menepuki punggung adiknya dan dengan suara dan gaya orang tua dia bilang, “Sehat. Semua sehat. Dan mereka kirim salam rindu kepadamu.”
            Ketika pintu berderit ia tersentak dari lamunannya, dan di saat berdiri hendak menyambut adik misannya, ternyata yang keluar bukan dia … tapi si penjaga.
             “Bagaimana?” tanyanya tak sabar.
           “Duduklah Tuan, duduk saja. Pak Jenderal sedang ada tamu. Tapi saya lihat Pak Jenderal heran melihat nama Bapak di situ.”
            Mendengar itu dia tersenyum, lalu duduk kembali di kursi. Ditepuk-tepuknya debu yang melekat di celananya, lantas diambilnya slepi dari sakunya.
             “Boleh merokok”” tanyanya minta izin.
            “Silakan, silakan,” kata si penjaga dengan ramah. Sikap tamu itu memang merapatkan rasa persaudaraan. Ditawarkan­nya rokok ke ujung hidung si penjaga,
            “Mau? Silakan lho!” yang dijawab dengan gelengan kepala dan goyangan tangan oleh si penjaga.
            “Baiklah, tapi jangan panggil saya Tuan, ah. Saya bukan Tuan. Orang awam, sama seperti Saudara. Nama saya Waluyo. Orang-orang memanggilku ‘Pak Pong’. Lihat saja nanti, Pak Jenderalmu pasti memanggil aku dengan  ‘Pak Pong’, ‘Pak Pong’ terlalu banyak makan singkong, kalau rakus dikasih telethong. Ooh, sejak kecil kami memang suka berolok-olok.” Dia tertawa lebar, terkenang masa kecilnya, ber­canda di atas punggung kerbau. Si penjaga sempat menca­tat: gigi tamunya ompong semua.
             “Tuan, Eh Pak Pong, petani?” ujarnya ragu-ragu, takut kalau menyinggung perasaan.
            “Petani? Apa potongan saya petani? Bukan! Tapi waktu remaja memang kami suka pencak silat. Rupanya meninggal­kan bekas juga, pada potongan tubuhku. Atau karena baju model cina ini ya? Saya, guru SD di Desa Nggesi. Sekolah ini telah menghasilkan orang-orang besar. Murid saya yang pertama sekolah sudah Kapten, ada juga yang insinyur. Dan Pak Jenderalmu, murid yang paling jempolan. Otaknya tajam se­kali,” katanya sambil mengacungkan ibu jari ke atas, memuji kepandaian adik misannya.
            Bel yang mendadak menjerit tiga kali menghentikan dongengnya. Tampak olehnya penjaga itu berdiri dengan tergesa-gesa sambil berkata, “Tunggu sebentar, mungkin Bapak sudah diperlukan.
”Dia melongo, “Diperlukan?” Diperlukan?” ujarnya di dalam hati, tidak mengerti. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, asapnya ditiupkan ke atas. Terbayang kembali di depan matanya Paijo yang kurus kering, makan satu meja, tidur sepembaringan, adik misannya sendiri. Pernah ada bisul di pantatnya, lantas ditumbukkan daun kecubung untuk obat. Waktu tubuh yang kering itu disergap kudis, dia bersepeda sepanjang lima puluh kilometer untuk beli obat ke kota buat adiknya itu. Pagi dan sore menggerus belerang, merebus air dan merendam Paijo pada kemaron yang besar. Tiga puluh lima tahun yang lalu, itu, ketika semua masih anak-anak.
            “Pak Pong mau minum apa?” Seperti tadi, si penjaga nyelonong duduk dan menegurnya, membubarkan angan-angan masa silamnya. Pak Jenderal bilang saya harus menemani Bapak, sebab Pak Jenderal lagi sibuk. Sebentar lagi ada tamu istimewa, Pak Menteri. Minumnya apa, Pak? Juice? Coca Cola?”
             “Apa saja, boleh. Kopi kalau ada,” ujarnya merendah.
            “Aih, Jakarta panas, kenapa kopi? Tapi apa Bapak Sauda­ranya Pak Jenderal?” ujar penjaga sambil menyorongkan cangkir ke depan tamunya.
            “Ya, kakak sepupu. Sejak kecil dia yatim piatu. Ibu bapaknya meninggal kena wabah kolera. Dia dua saudara, adik perempuannya bernama Tinah. Lantas keduanya diambil oleh orangtua kami, dibesarkan dalam kandang yang sama, di Nggesi. Kami memang keluarga petani, tapi dia agak lain, otaknya luar biasa. Sejak kecil dia sudah menunjukkan bakatnya, selalu saja dibuatnya hal-hal yang mengagum­kan. Karenanya kami semua bersepakat untuk mengirimnya ke kota, sekolah. Waktu itu kami menjual sapi dan padi untuk ongkos-ongkosnya. Lantas saya waktu sudah jadi guru, saya kirimkan seluruh gaji untuk biayanya, sebab di desa kami kan bisa makan apa saja …. Ooh, apa itu Pak Menteri?” tiba-tiba dia menghentikan ceritanya, menunjuk ke jalan.
            Seperti disengat lebah, penjaga yang di dekatnya melon­cat bangun, setengah berlari menyambut tamu yang baru datang dan bergemetaran ketika membukakan pintu mobilnya.
            “Langsung saja, Pak,” kata si penjaga sambil mengantar Pak Menteri ke ruang tamu di dalam.
            Dia duduk saja di situ, tercenung-cenung. Dicatatnya kejadian itu dalam hati: tamunya Paijo, Menteri; langsung bertemu tanpa menunggu. Lantas dihitung-hitung sudah berapa tahun mereka tidak saling ketemu. Apa Paijo juga gemuk seperti Menteri itu? Tiba-tiba semacam kerinduan mencekam naik ke dadanya. Dia ingin melihat adiknya! Serasa hendak diterjangnya tembok yang ada di hadapannya. Karena gelisah dia berdiri, berjalan ke arah pintu.
            Ketika tangannya menyentuh grendel, pintu terdorong dari dalam. Dan seseorang muncul di depannya: si penjaga! Dengan tertawa terkekeh-kekeh ditepuk-tepuknya bahu Pak Pong yang tua.
            “Kabar baik, Pak, kabar baik. Mereka berdua wajahnya cerah-cerah. Menteri itu banyak duit, alamat saya keba­gian rejeki. Oo, jadi Pak Pong ini kakak misan Pak Jen­deral, ya? Betul mirip memang, dan Pak Jenderal selalu bangga pada keluarganya. Dalam pidato-pidatonya selalu disebut-sebutnya: anak desa, penderitaan rakyat, dan perjuangan melawan Belanda,” kata penjaga itu mencoba mengingat-ingat kembali apa yang pernah diucapkan oleh Jenderalnya, kepada tamunya.
            “Ya, betul. Rumah kami pernah dijadikan markas, waktu zaman gerilya. Masih lama ya, Pak Menteri itu?” katanya tak sabar lagi.
            “Tidak! asal Bapak Jenderal mau teken, biasanya urusan selesai. Minumnya ditambah lagi ya, Pak?”
            Dia menggeleng lesu, dalam hati diumpatnya Menteri dan tamu-tamu yang antri di situ, merebut waktu adiknya.
            Karena badan dan pikirannya terlalu capek, dia mengan­tuk di situ. Si penjaga tidak mengganggunya, dibiarkan saja tamunya tersandar lemas di kursinya. Entah berapa lama dia dalam keadaan semacam itu, dia sendiri tak menyadarinya; tiba-tiba didengarnya kembali bel tiga kali. Si penjaga menggoncang-goncang bahunya.
            “Giliran untuk Pak Pong. Mari, saya antarkan ….” Ada keramahan yang tulus terlempar dari mulut si penjaga. Bibirnya menyunggingkan senyum, ikut merasa bahagia. Waktu pintu ternganga lebar, dia tercenung di depannya. Matanya bergerak ke sana ke mari menatapi apa saja yang dilihatnya. Ruangan itu bagus sekali. Hawa dingin menyen­tuh kulitnya. Ada kesegaran di dalamnya. Di tengah-tengah barang-barang yang serba megah, duduk laki-laki jangkung, memakai kecamata hitam. Betulkah itu Paijo?
            Ya, dia tidak salah: ada tahi lalat di pipinya. Maka dia pun menyerbu ke dalam, lalu dihamburkan kerinduannya, “ … Jo …,” teriaknya nyaring. Ketika hendak dirang­kulnya laki-laki yang duduk di belakang meja, dia menda­dak menghentikan langkahnya, sebab laki-laki itu bukannya berdiri tetapi tetap saja duduk di kursi. Laki-laki jangkung itu melepaskan kecamatanya pelan-pelan, lalu mengulurkan tangannya.
            “Hallo, Pak Pong, apa kabar? Saya senang bertemu kakak di sini? Bagaimana Ibu, Bapak dan Dik Tinah?” ujarnya, datar tanpa emosi.
              Laki-laki yang bernama Pak Pong itu hanya melompong.
            “Kakak, Ibu, Dik Tinah?” dia sempat mencatat kata-kata baru. “Bukankah kata-kata itu dulu berbunyi, “Kakang, simbok, dan gendukku Tinah?”
            “Baik, baik, Dik, semuanya kirim salam rindu padamu,” katanya dengan latah, “dik”nya terasa kaku di lidah. Dulu, orang yang ada di depannya itu dipanggilnya dengan le saja, ketika masih sama-sama memandikan kerbau di sungai, tiap sore.
            “Kakak tetap saja: penggembira, awet muda, bajunya potongan cina.” Mereka tertawa berderai-derai. Tapi laki-laki yang bernama Pak Pong menangkap sesuatu yang lain dari wajah adiknya: ketidakwajaran.
            Maka hilanglah kegembiraannya. Kerinduan yang hendak dia tuangkan dalam banyak cerita, berhenti sampai di tenggorokannya. Dia tenggelam dalam keasingan. Terentang batas di depannya. Sekalipun tidak diketahuinya bagaimana wujudnya, tapi dia dapat merasakannya. Pada setiap tari­kan napas adiknya terbayang ungkapan kegelisahan adik misannya itu, akan kehadirannya.
“Kakak nginap di mana?” tanya laki-laki yang sejak kecil dia timang-timang itu, mengiris hatinya.
“Gambir. Engkau sibuk, Dik? Ada titipan dari Ibu, “ kata-katanya menggeletar, ada rasa penasaran yang dite­kannya sendiri di dalamnya. Didengarnya sendiri, betapa lucunya kata ‘ibu’ terluncur dari mulutnya. Lebih dari setengah abad dunia ini dihuninya, baru satu kali itu dalam hidupnya ia menyebut ibu buat emboknya.
            “Dari Ibu? Baiklah, nanti saja; sebentar lagi saya harus rapat di Bina Graha. Kakak nginap di Gambir? Kalau begitu, biarlah penjaga mengantarkan kakak ke sana. Nanti malam Kakak saya tunggu, makan malam di rumah bersama keluarga.”
            Laki-laki itu berdiri, mengantarkan kakaknya sampai di pintu, memanggil serta memberikan aba-aba pada sopir dan si penjaga. Sesudah itu mobil merah punya Pak Jenderal meluncur melintasi kota, cepat seperti kilat.
            “Gambir sebelah mana, Pak?” ujar sopir di perjalanan.
            “Stasiun!” jawabnya tenang.
            “Stasiun? Kiri apa kanannya, Pak?” tanya si penjaga, ingin lebih jelas.
            “Tidak, di stasiunnya itulah. Jam berapa kereta mening­galkan Jakarta? Saya tidak punya famili di sini, kecuali dia. Kasihan adikku, repot sekali kelihatannya. Tentu di rumahnya banyak tamu, sehingga saya tidak kebagian ruang dan waktu. Kasihan adikku, seharusnya saya tidak meng­ganggunya,” ujarnya tulus, tanpa prasangka, pelan seperti bicara kepada dirinya sendiri.
            “Pak Pong …”, sapa penjaga itu dengan lirih. “Kalau Pak Pong mau, biarlah kita bersempit-sempit di gubuk saya. Kereta meninggalkan Jakarta baru besok pagi, jam lima. Ada yang jalan sore, tapi karcisnya sepuluh ribu.”
            Laki-laki yang dipanggil Pak Pong mengulurkan kedua belah tangannya. Mereka bersalaman dengan hangat, ditem­pelkan di dada, bersilaturahmi.
            “Alhamdulillah. Kamu tidak keberatan, menerima aku satu malam saja?” Penjaga itu menggeleng lemah, tanpa berbicara. Hanya saja mata yang menatap sedih pada orang yang duduk di dekatnya itu.
            Malam itu, Pak Pong berjalan kaki, keliling kota Jakarta, di temani si penjaga. Kejadian siang tadi sama sekali tidak membekas pada wajahnya, mukanya tetap berseri-seri. Diterimanya kenyataan itu sebagai hal wajar: adiknya orang besar, sibuk dan banyak acara, mengurus negara. Setiap kali melihat mobil merah lewat di dekatnya, tanya­nya, “Bukankah itu mobil Paijo? Jangan-jangan dia menjem­put aku? Kami memang sudah berjanji, jam tujuh, makan malam.”
            Si penjaga menepuk-nepuk bahunya, “Mobil merah ratusan, Pak, jumlahnya di sini. Dan malam ini Pak Jenderal ada di istana, menyambut tamu dari luar negeri.”
            “Istana? Rumahnya Presiden, maksudmu?” matanya terbeli­ak lebar, mengungkapkan keheranan yang besar.
            “Ya, rumah Presiden. Nah itu, lampu-lampu yang gemerla­pan itu night club. Tahu night club?” tiba-tiba saja si penjaga merasa berarti, lebih pandai daripada tamunya, kakak sepupu Jenderalnya.
            “Night club,  Pak, pusat kehidupan malam di kota ini. Tempat  orang-orang kaya membuang duit mereka. Lampunya lima watt, remang-remang; perempuan-perempuan cantik, minuman keras, tari telanjang, dan musik yang gila-gilaan. Pendeknya, yahut!” ujar penjaga sambil mengacung­kan jempolnya.
            “Lantas, apa yang mereka bikin, di situ?” suaranya tercekik membayangkan ketakutan yang besar.
            “Berdansa. Bercumbu. Biasa, Pak, Jakarta!” jawab si penjaga dengan ringan.
            “Astaga … Gusti Pangeran, nyuwun pangapura…. Dan adikku apa sering ke situ?” ujarnya lirih, mengandung sedu.
            “Tidak ke situ, ke Paprika. Tapi sama saja. Malah karcisnya mahal di sana, enam ribu!”
            “Enam ribu? Sama dengan dua bulan gajiku,” keluhnya pelahan.
Lampu-lampu yang berkilauan terasa menusuk-nusuk mata­nya, sedangkan kebisingan kota menyayat-nyayat hatinya. Samar-samar dia sadari bahwa dia telah kehilangan adik­nya: Paijo tercinta!
            Pak Pong yang malang menatap kota dengan dendam di dalam hati. Jakarta, kesibukannya, Bina Graha, gedung-gedung itu, Istana Merdeka, night club, mobil merah telah memisahkan dia dari adiknya.
            Ditatapnya bungkusan kecil titipan emboknya, lalu diberikannya kepada si penjaga, “Untukmu. Kain yang dibatik oleh tangan orang tuaku. Di dalamnya terukir cinta ibu kepada anaknya. Coretan tanah kelahiran yang dikirim untuk mengikat tali persaudaraan!”
            Dua tetes air mata membasahi pipi yang tua, menandai kejadian waktu itu.***

Cerpen 3
KADO ISTIMEWA
Jujur Prananto

Bu Kustiyah bertekad bulat menghadiri resepsi pernikahan putra Pak Hargi. Tidak bisa tidak. Apa pun hambatannya. Berapa pun biayanya. Ini sudah menjadi niatannya sejak lama, bahwa suatu saat nanti, kalau Pak Gi mantu ataupun ngunduh mantu, Bu Kustiyah akan datang untuk mengucapkan selamat. Menyatakan kegembiraan. Menunjukkan bahwa Bu Kus tetap menghormati Pak Gi, biarpun zaman sudah berubah.
“Pak Hargi adalah atasan saya yang saya hormati,” begitu Bu Kus sering bercerita pada tetangganya. “Beliau adalah seorang pejuang sejati. Termasuk di antara yang berjuang di dapur umum, saya merasa bahagia dan berbangga bisa ikut berjuang bersama Pak Gi.”
Namun begitulah – menurut Bu Kus – setelah ibukota kembali ke Jakarta, keadaan sudah banyak berubah. Pak Hargi ditugaskan di pusat dan Bu Kus hanya sesekali mendengar kabar tentang beliau. Waktu terus berlalu tanpa ada komunikasi. Kekacauan menjelang dan sesudah Gestapu serasa makin merenggangkan jarak Kalasan-Jakarta. Lalu tumbangnya rezim Orla dan bangkitnya Orde Baru mengukuhkan peran Pak Gi di lingkungan pemerintahan pusat. Dan ini berarti makin tertutupnya kemungkinan komunikasi langsung antara Bu Kustiyah dengan Pak Gi. Tetapi bukan berarti Bu Kus merasa jauh dengan Pak Gi. Sebab – dalam istilah Bu Kus – “kesamaan cita-cita merupakan pengikat hubungan yang tak terputuskan”.
“Soal cita-cita ini dulu kami sering mengobrolkannya bersama para gerilyawan lain,” demikian kenang Bu Kus. “Dan pada kesempatan seperti itu, pada saat orang-orang lain memimpikan betapa indahnya kalau kemenangan berhasil tercapai, Pak Gi sering menekankan bahwa yang tak kalah penting dari perjuangan menentang kembalinya Belanda adalah perjuangan melawan kemiskinan dan kebodohan.”
Tapi bagaimanapun, meski Bu Kus merasa selalu dekat dengan Pak Gi, ternyata setelah tiga puluh tahun lebih tak berjumpa, timbul juga kerinduan untuk bernostalgia dan bertatap muka secara langsung dengan beliau. Maka itulah ketika ia mendengar kabar bahwa Pak Gi akan menikahkan anaknya, Bu Kus merasa inilah kesempatan yang sangat tepat untuk berjumpa.
***
Lewat tengah hari, selesai makan siang, Bu Kus sudah tak betah lagi tinggal di rumah. Tas kulit berisi pakaian yang siap sejak kemarin diambilnya, juga sebuah tas plastik besar berisi segala macam oleh-oleh untuk para cucu di Jakarta. Merasa beres dengan segala tetek-bengek itu ini, Bu Kus pun menyuruh pembantu perempuannya memanggilkan dokar untuk membawanya ke stasiun.
Belum ada pukul tiga Bu Kus sudah duduk di peron stasiun, padahal kereta ekonomi jurusan Jakarta baru berangkat pukul enam sore nanti. Ketergesa-gesaannya meninggalkan rumah akhirnya malah membuatnya bertambah gelisah. Rasanya ia ingin secepatnya sampai di Jakarta dan bersalam-salaman dengan Pak Gi. Berbincang-bincang tentang masa lalu. Tentang kenang-kenangan manis di dapur umum. Tentang nasi yang terpaksa dihidangkan setengah matang, tentang kurir Ngatimin yang pintar menyamar, tentang Nyai Kemuning penghuni tangsi pengisi mimpi-mimpi para bujangan. Ah, begitu banyaknya cerita-cerita lucu yang rasanya takkan terlupakan biarpun terlibas oleh berputarnya roda zaman.
Peluit kereta api mengagetkan Bu Kus. Ia langsung berdiri tergopoh-gopoh naik ke atas gerbong.
            “Nanti saja, Bu! Baru mau dilangsir!”
            Tapi Bu Kus sudah terlanjur berdiri di bordes. “Pokoknya sampai Jakarta!”
            “Nomor tempat duduknya belum diatur, Bu!”
            “Pokoknya punya karcis!”
Dan memang setelah melalui kegelisahan yang teramat panjang, akhirnya Bu Kus sampai juga di Jakarta. Wawuk, anak perempuannya, kaget setengah mati melihat pagi-pagi ibunya muncul di muka rumahnya setelah turun dari taksi sendirian. “Ibu ini nekad! Kenapa tidak kasih kabar dulu?”
            “Di telegram kan saya bilang mau datang?”
            “Tapi tanggal pastinya ibu tidak menyebut.”
            “Yang penting sudah sampai sini.”
            “Bukan begitu, Bu. Kalau kita tahu persis kan bisa jemput Ibu di stasiun.”
            “Saya tidak mau merepotkan. Lagi pula saya sudah keburu takut bakal ketinggalan resepsi mantunya Pak Gi. Salahmu juga, tanggal persisnya tidak kamu sebut di surat.”
“Ya, Tuhan! Ibu mau datang ke resepsi itu?”
            “Kamu sendiri yang bercerita Pak Gi mau mantu.”
            “Kenapa ibu tidak mengatakannya di surat?”
            “Apa-apa kok mesti laporan.”
            “Bukan begitu, Bu.” Wawuk sedikit ragu melanjutkan ucapannya. “Ibu kan ... tidak diundang?”
            “Lho, kalau tidak pakai undangan apa ya lalu ditolak?”
            “Ya, tidak. Tapi siapa tahu nanti ada pembagian tempat, mana yang VIP, mana yang biasa.”
            “Ah, kayak nonton wayang orang saja, pakai vip-vipan segala.”
            “Tapi yang jelas, saya sendiri juga tidak tahu resepsinya itu persisnya diadakan di mana, hari apa, jam berapa. Saya tahu rencana perkawinan itu cuma dengar dari Mas Totok saja, Bu. Mas Totok juga cuma dengar omongan kiri-kanan.”
            “Suamimu itu kan sekantor sama Pak Gi. Masak tidak diundang?”
            “Bukan satu kantor, Bu. Satu departemen. Lagi pula Mas Totok itu karyawan biasa, jauh di bawah Pak Gi. Itu pun bukan bawahan langsung. Jadi ya nggak bakal tahu menahu soal beginian. Apalagi kecipratan undangan.”
            “Kan bisa tanya?”
            Wawuk menghembuskan nafasnya agak keras.
            “Ingat, Wuk,” Bu Kus bicara dengan nada dalam. “Aku jauh-jauh datang ke Jakarta ini yang penting adalah datang pada resepsi pernikahan putra Pak Hargi. Lain tidak.”
***
Mencari informasi tentang tempat dan waktu penyelenggaraan resepsi tersebut ternyata sama sekali bukan pekerjaan sulit bagi suami Wawuk. Pak Hargi adalah seorang pejabat eselon satu pada pos yang sangat penting. Sedemikian penting jabatan itu hingga ibarat kata beliau terkena gejala flu saja – baru gejalanya saja – rasa-rasanya seluruh departemen bakal tahu. Itulah maka dengan gampang suami Wawuk bisa memperoleh keterangan lengkap, termasuk copy undangan resepsi pernikahan tersebut.
            “Acaranya besok jam tujuh malam, di Puri Agung Hotel Sahid Jaya.”
            “Astaghfirullah. Di hotel?”
            “Ya, Bu.”
            “Bukan di gedung?”
            “Di hotel itu ada fasilitas ruang resepsi, Bu.”
            “Ooo....”
            “Barangkali, lho. Soalnya saya sendiri belum pernah masuk.”
            “Tapi Nak Totok tahu hotel itu di mana?”
            “Tahu, Bu.”
Tengah malam giliran Wawuk yang tak bisa tidur. Dalam dirinya berkecamuk berbagai perasaan yang tidak keruan. Ingin sekali ia melarang ibunya datang, tapi sungguh tidak ada alasan untuk itu. Tidak mungkin ia mengatakan, “Kenapa harus mendatangi pestanya orang yang bisa jadi telah melupakan kita,” atau “Mereka toh tidak mengharapkan kita datang,” atau alasan-alasan lain yang salah-salah justru akan berbalik melipatkan semangat ibunya untuk datang hanya demi membuktikan, “Pendapat kamu itu salah, Wuk!”
Di sisi lain, Wawuk sendiri juga merasa sangat berdosa, kenapa dalam dirinya timbul rasa malu terhadap ibunya sendiri. Ya, darimana munculnya perasaan jahat itu? Padahal sesungguhnya ia sangat menghormati ibunya. Sangat menghormati kesederhanaannya. Idealismenya. Sikap moralnya. Kenapa rasa hormatnya terhadap nilai-nilai itu begitu gampang gentar hanya karena ibunya akan hadir di sebuah pesta di hotel berbintang lima?
Wawuk bangkit dari pembaringan, pelan masuk ke kamr ibunya. Kosong. Pandangan Wawuk lalu bertumpu pada tas kulit ibunya di pembaringan. Tas itu dibukanya. Kain kebaya di dalamnya ia kenal betul sebagai pakaian ibunya lima atau enam tahun yang lalu. Wawuk ingat ketika ia pernah ingin membelikan pakaian yang sedikit lebih  bagus, ibunya menolak dengan alasan yang tak jelas. Juga selop hitam itu, yang bahan solnya sudah ditambal entah untuk keberapa kalinya.
Mendadak terdengar panci jatuh. Wawuk bergegas ke dapur. Perasaan Wawuk makin bergolak melihat ibunya sibuk memasak. Di meja terletak nampan anyaman bambu yang sudah dilapisi kain putih berhias bordiran. Bakul-bakul kecil ditempatkan di atasnya secara rapi. Di atas kompor yang menyala terletak dandang yang mengepulkan uap tebal.
            “Masak apa, Bu?”
            “Thiwul.”
            “Thiwul gaplek? Buat apa?”
            “Berhari-hari saya mencari kado yang tepat untuk putranya Pak Gi. Sesuatu yang khusus, yang istimewa, dan terpenting yang bermakna. Baru kemarin saya menemukan pilihan yang tepat. Kenapa bukan makanan zaman perjuangan? Melihat kado yang isinya lain dari pada yang lain ini nanti tentulah putra Pak Gi akan bertanya pada bapaknya. Pak Gi pasti akan terkesan sekali dan menerangkan panjang-lebar makna makanan ini dalam masa perjuangan. Paling tidak dengan begitu putra Pak Gi secara nyata bisa melihat kenyataan masa lalu yang dijalani oleh ayahnya. Ah! Kado ini nantinya tentu akan menjadi yang paling penting di antara kado-kado lain. Istimewa sekaligus bermakna....”
            “Tapi .... bisa basi kan, Bu?”
            “Kalau aku yang bikin, sampai tiga hari juga tahan.”
            Wawuk sendiri mematung. Ada sederetan ucapan yang tersekat di mulutnya.
***
Penjagaan ketat mewarnai ruang resepsi hotel Sahid Jaya. Di halaman bertebaran petugas security, lengkap mengenakan setelan jas hitam dan handy-talky di tangan. Pintu masuk hanya separuh terbuka kurang lebih Cuma semeter, dilengkapi dengan bingkai detektor beralarm.
Bu Kus melihat semua itu dengan pandangan kagum. Tangannya memegang erat kotak kado berbungkus kertas coklat yang telah dipersiapkannya begitu lama.
Pasangan-pasangan tamu bergiliran masuk ke ruang resepsi. Masing-masing membawa amplop undangan berukuran dua puluh kali dua puluh senti, dengan pemukaan berelief ukiran warna keemasan. Dengan langkah yang digagah-gagahkan Totok dan Wawuk mengikuti arus para tamu ini, mengawal Bu Kus masuk lebih dulu lewat pintu detektor.
            “Selamat malam, Bu.”
            “Selamat malam, selamat malam.”
            Bu Kus menyerahkan kadonya kepada petugas yang cantik-cantik itu.
            “Tolong simpan baik-baik kado saya ini, Nak. Menaruhnya jangan sampai terbalik, nanti tumpah semua. Isinya makanan sitimewa.”
            “Terima kasih, Bu. Silakan terus ke dalam. Tapi mohon jangan mendahului ke pelaminan sebelum rombongan Presiden datang.”
            “Waduh yung! Pak Presiden hadir juga?”
Bu Kus makin lincah saja memasuki ruang resepsi. Decaknya berkali-kali terdengar menyertai kekagumannya melihat ruangan yang teramat indah, besar, dan megah ini. Di sana-sini bertebaran meja panjang berisi hidangan makanan dan minuman, berhiaskan susunan lilin warna-warni dan ukiran-ukiran dari balok es raksasa. Dan nun jauh di dalam sana, di tempat yang agak ketinggin, di pelaminan berwarna keemasan, duduklah sepasang pengantin dan para orang tua masing-masing. Sepanjang jalan menuju ke sana tergelar permadani merah bertabur kembang melati, yang di kiri-kanannya berdiri belasan pemuda-pemudi cantik pager bagus dan pager ayu, berseragam sutera kuning berhiaskan juntai-juntai renda merah tua.
Namun Bu Kus belum merasa lega sebelum bertemu langsung dengan Pak Gi, dan ini masih diperlukan sejumlah kesabaran lagi. Semua tamu harus menunggu setengah jam sampai hadirnya rombongan presiden. Begitu rombongan presiden datang, bersalam-salaman, berfoto bersama dan meninggalkan gedung, kurang lebih dua ribu tamu berebutan antri menuju pelaminan. Di urutan yang keseribu sekian Bu Kus tetap bertahan untuk berdiri tegar, dengan perasaan yang kian berdebar.
Setelah kurang lebih sejam berdesak-desakan, sampai jugalah Bu Kus di tempat pelaminan. Perasaannya berbinar dan ia pun berbisik dalam hati mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa.
Dengan tangan gemetar Bu Kus menghaturkan salam pada Pak Gi.
            “Awet muda, Pak Gi. Benar-benar awet muda. Selamat, Pak Gi.”
            “Terimakasih ...terimakasih....”
Rupanya Bu Kus tidak bisa menahan diri, menubruk tangan Pak Gi, mencium tangan itu dan mennagis terisak-isak. “Kustiyah, Pak Gi. Saya Kustiyah. Dapur umum.”
Pak Gi sempat mengerutkan keningnya, tapi kemudian cepat mengusai keadaan, mengesankan ia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. “Ooo...ya ya. Terima kasih, lho.”
            “Pos Klasan, Pak. Mas Aris, Mas Dal, Ngatimin cebol. Sekarang pada ngumpul di Semarang.”
            “Ooo... ya, ya....”
            “Semua di sana tetap kompak, Pak. Tapi jangan tanya soal Nyai Kemuning, lho, “ isak tangis Bu Kus berbaur dengan tawa.
            “Yayaya... terima kasih banyak, lho. Terimakasih.”
            “Kapan kita bisa berbincang lebih banyak, Pak Gi?”
Sesaat Pak Gi kehilangan kata-kata. Bu Gi sedikit tegang. Para tamu mulai bergumam karena macetnya antrean
            “Emm... kapan saja. Terima aksih atas kedatangannya.”
            “Terima kasih kembali, Pak. Sekali lagi saya ucapkan selamat.”
            “Ya, ya. Terimakasih.”
            “Wah, ini putranya Pak Gi, ya? Persis bapak waktu muda dulu....”
Selesai menyalami semuanya Bu Kus akhirnya meninggalkan pelaminan. Antrean berjalan lagi setelah beberapa saat mengalami kemacetan. Semua lega. Tapi tak ada yang bisa menandingi kelegaan Bu Kus. Ruang resepsi yang maha indah dan luas itu dirasakannya hangat menyambut kedatangannya. Ia mengajak Totok dan Wawuk menjelajahi seluruh ruangan, mencicipi semua jenis makanan.
            “Pak Gi ini benar-benar seorang pejuang yang tak pernah melupakan cita-citanya.”
            “Cita-cita yang mana, Bu?”
            “Bahwa yang tak kalah penting dengan perang melawan penjajahan adalah perjuangan melawan kemiskinan dan kebodohan. Lah ini semua kan bukti keberhasilan beliau melawan kemiskinan?”
            “Ibu sendiri kenapa tidak mengikuti jejak Pak Gi?”
            “Sebagai mantan bagian dapur umum saya tetap berjuang terus, lho! Melawan kelaparan ....”
***
Seminggu kemudian, di rumah pengantin baru, di kamar penyimpanan kado. Pengantin pria duduk kelelahan berselonjor di kursi panjang sementara istrinya yang masih gres itu sibuk menginventarisasi kado, yang bahkan belum pernah dibuka sejak resepsi tempo hari.
            “Halo pengantin baru!”
            Rombongan saudara-saudara kandung dan sepupu pada datang. Pengantin pria bangkit dari duduknya. Pengantin wanita tampak lega.
            “Naa..., dari kemarin-kemarin kek kemari. Pusing, nih, ngatur kado sebegini banyak. Udah, pilih sendiri-sendiri mana yang suka! Yang paling banyak jam dinding, setrikaan ada enam belas biji, seprei dua puluh lima, lemari es lima biji tapi sudah ada yang pesan semua, dua kita pakai sendiri, tea-set banyak yang bagus tuh, lampu meja, lampu dinding, termos, handuk, kondom. Ambil! Ambil!”
            “Kunci mobil ada nggak?”
            “Bi-em double-yu, lho!”
            “Ai, gilaaa!! Kunci rumah?”
            “Ada deh....”
            “Amplop? Amplop?”
            “Langsung masuk rekening....”
            “Yang masih pada di karung apaan, nih?”
            “Bongkar aja, bongkar!”
            “Busyet! Bau busuk!”
Semua perhatian berpusat di sebuah kado berbungkus kertas coklat. Di bagian sudutnya tampak basah. Kado itu pun dibuka. Mereka tak tahu apa nama makanan dalam nampan anyaman bambu yang ditutup kain putih berbordir itu, sebab rupanya sudah tak keruan dan berjamur di sana-sini. Ada selembar kertas bertuliskan tangan yang sulit terbaca karena tintanya sudah menyebar kena lelehan gula merah.
            “Ibu ... Kus...Kustijak...Kustijah. Siapa sih dia?”
            Pengantin pria mengamati kado ini. “Mana gua tahu. Imaaah!!!”
            Pembantu perempauan muncul.
            “Bawa keluar, nih!”
            “Mau disimpan di mana, Mas?”
            “Disimpan? Buang!!
Jakarta, 20 Oktober 1991 dalam Materi Pokok Cerita Rekaan dan Drama, B. Rahmanto.)

Cerpen 4
                                                          LIMA BELAS TAHUN TIDAK LAMA
                                                                      Motinggo Busye

Kota kami telah hampir berusia setengah abad, dan hampir saja hanyut karena kecelakaan gunung berapi. Beberapa tahun belakangan ini orang-orang sudah tidak lagi memikirkan apakah bahaya itu akan datang lagi, sehingga orang-orang sudah tidak memikirkan soal waktu. Kota itu terbentang di pinggir pantai, dengan sebuah jalan panjang sembilan kilometer ke arah barat laut, dan tepat di pintu kota ada sebuah kantor bank.
Orang-orang pegawai bank tidak memikirkan waktu, mereka banyak berhubungan dengan angka-angka. Di sebelah bank itu ada sebuah restoran Cina dan orang-orang Cina itu juga tidak memikirkan waktu. Belakangan mereka malah kesusahan, karena pemeliharaan babi kurang memuaskan, sebab banyak orang-orang Islam yang jadi tukang gembala babi-babi itu diganggu keamanannya oleh penduduk sekitarnya.
Di sebelah restoran Cina itu ada sebuah toko kecil, toko sepatu, di mana banyak sepatu-sepatu. Sepatu-sepatu itu dikerjakan oleh tukang-tukang sepatu dan mereka berjumlah enam orang. yang termuda dari tukang-tukang sepatu ini berumur dua belas tahun, tidak perlu disebutkan namanya, karena lebih penting apa yang menyebabkan ia menjadi tukang sepatu. Ia menjadi tukang sepatu karena hendak memberi makan lima orang adik-adiknya, hendak membantu penghasilan ibunya yang bekerja sebagai tukang cuci.
Ia adalah yang paling pendiam. Yang tertua dari tukang-tukang sepatu itu adalah seorang lelaki, yang mengabdikan pikirannya dan anggota-anggota badannya untuk membuat sepatu-sepatu yang baik. Dari keenam pekerja itu, dia inilah yang paling banyak ditegur oleh majikannya, karena ia tidak cepat bekerja, karena ia membuat sepatu-sepatu itu sebaik-baiknya. Pemilik toko sepatu itu tidak memikirkan membikin sepatu yang kuat dan baik lebih menguntungkan. Ia lebih banyak memikirkan bagaimana bisa menghasilkan sepatu sebanyak-banyaknya, tidak peduli jahitan atau lim-lim sepatu itu akan berumur tiga bulan saja.
Tukang sepatu yang tertua ini, yang tertua karena dialah yang telah berumur dua puluh lima di antara kelima orang yang lain, juga sangat pendiam, dan sangat tidak penting untuk menyebutkan namanya. Dia memikirkan sepatu dan waktu. Yang juga banyak dipikirkannya adalah wajahnya yang buruk itu, bekas-bekas cacar waktu zaman Jepang. Dia juga merupakan seorang pendiam. Dia pendiam karena panggilan keadaan.
Suatu kali ia berkata, “Kapan kau akan kawin?”
“Kawin? Aku tidak memikirkan hal itu.”
“Apakah selamanya kau tidak akan kawin?”
“Barangkali begitu. Aku tidak punya alis mata.”
“Gila kau!”
“Jangan ganggu aku. Aku sedang melihat sepasang suami-istri yang sedang berbelanja itu.”
Dia sedang melihat sepasang suami-istri yang sedang berbelanja, jauh di seberang jalan. Saat itu dia tak mau berkata pada dirinya sendiri lagi. Tapi hatinya mengusik-usiknya lagi dan bertanya,
“Kau tidak ingin kawin seperti mereka?”
“Jangan ganggu aku. Aku sedang memperhatikan sepasang suami istri yang sedang berbelanja itu. Mereka sedang berbantah agaknya. Mereka sedang berembuk barangkali. Mereka mempunyai apa yang aku sendiri tidak punya.”
Itu bukanlah yang pertama kali tukang sepatu itu berbantah-bantahan dan bersoal-jawab. Dia berbantah-bantah dan bersoal jawab dengan dirinya.
Pandangannya, melewati kaca pajangan toko ke arah sana terganggu karena ada seorang perempuan sedang menggendong anaknya dan seorang anak perempuan kecil dengan rambutnya dikelabang. Antara anak perempuan itu dan ibunya agaknya terjadi percakapan. Kelihatan anak perempuan itu merengek-rengek menunjuk-nunjuk ke sebuah sepatu kecil.
“Bu, belikan yang itu, Bu.”
“Sssh, sshh.”
“Bu, belikan, Bu. Semua anak-anak di kelas pakai sepatu.”
“Biarkan mereka semua pakai sepatu.”
“Tapi aku ingin juga seperti mereka.”
Aku ingin seperti mereka, barangkali itulah yang dikatakan anak perempuan kecil itu. Tukang sepatu itu sebenarnya tidak mendengar percakapan ibu dan anak itu. Perdebatan mereka berdua antara ibu dan anak itu tidak ada. Tukang sepatu itu hanya melihat mata anak perempuan kecil itu menatapi sepatu kecil, dan sebelah tangannya menarik-narik baju ibunya. Mereka: ibu dan anak, tidak berkata-kata. Kedua mereka tenggelam oleh lautan kata-kata, sehingga keduanya tidak bisa berkata lagi sebab sudah lama tenggelam.
Tapi dia itu, seorang anak perempuan kecil berumur lima tahun, tampak sekali dalam matanya yang hitam bilam itu, menginginkan sepatu. Memang, sepatu yang satu itu kecil dan bagus, dibuat oleh tangan yang mengabdikan dirinya untuk kebagusan.
Sepatu itu dibikin oleh tukang sepatu itu. Anak itu ingin seperti anak-anak yang lain, punya sepatu. Dan tukang sepatu itu ingin seperti orang-orang muda yang lain, punya wajah yang tidak buruk karena cacar, punya keinginan yang besar untuk kawin.
Tukang sepatu itu melihat anak kecil itu meneguk air liurnya. Air liur itu lewat di lehernya yang kecil, masuk di usus-ususnya yang kecil. Tukang sepatu itu tidak bisa melupakan wajah anak kecil itu, karena ia melihatnya dengan teliti. Ia tidak akan lupa dengan mata hitam bilam itu. Lalu tukang sepatu itu berjanji, suatu waktu ia akan memberikan sepasang sepatu untuk anak itu.
Pikirannya segera berkacau. Tukang sepatu itu tiba-tiba ingin menjadi pencuri. Ia ingin menjadi pencuri dari sepatu yang dibuatnya sendiri.
Kini dipandangnya sepatu kecil itu. Sepatu itu memang kecil. Dan tangannya menjamah. Alangkah bagus, alangkah bagus sepatu yang kubuat. Alangkah cantik, alangkah cantik bila anak perempuan kecil itu memakai sepatu kecil ini. Tangan tukang sepatu itu memegang sepatu itu. Ketika matanya berpaling sekeliling, anak perempuan itu, juga ibunya, juga bayi yang sedang digendong ibunya, tidak ada lagi dibalik kaca pajangan itu.
“Apa kerjamu?” bahunya ditepuk oleh majikan tokonya.
Ketika matanya bersua dengan mata majikannya, ia merasa malu. Tapi ia diam saja, sambil menaruh kembali sepatu dipajangannya.
Sejak itu, tukang sepatu itu merasa ada seorang yang senasib dengan dia. Tiap ia pulang dari kerja jam enam sore, ia bertemu dengan anak perempuan itu, sedang berdiri di depan toko lain, berdiri melihat sepatu-sepatu. Tentu yang dilihatnya sepatu-sepatu kecil.
Tapi ia melihat kejadian itu bukan tahun itu saja. Tiap tahun, menjelang lebaran, ia melihat anak itu sering-sering berdiri-diri di depan toko-toko sepatu. Tukang sepatu itu makin kenal baik-baik dengan wajah anak perempuan itu, terutama pada bentuk mata-nya yang hitam bilam itu.
Kota kami adalah kota yang subur dengan angan-angan. Ketika kota itu sepertiga tubuhnya hancur dibom oleh Belanda, penduduknya berangan-angan akan membangunnya kembali menjadi sebuah kota yang baik. Walikota kami adalah walikota yang dicintai rakyatnya, karena ia telah merubah kota itu sedemikian rupa, sehingga dalam tempo lima belas tahun kota itu seakan-akan bertukar rupa. Cuma sebuah tugu kemerdekaan yang tidak ditukar oleh arsitek-arsitek itu.
Tukang sepatu itu masih menjadi tukang sepatu. Tapi ia bukan saja menjadi tukang sepatunya, juga pemilik toko sepatu. Ia menyuruh anak buahnya, tukang-tukang sepatu yang lain, membikin sepatu-sepatu yang terbaik. Anak-anak buahnya, membikin sepatu-sepatu terbaik, sebab pemilik toko mereka telah membikin contoh, bagaimana membuat sepatu yang sebaik-baiknya.
Kalau sore hari, toko-toko itu terang oleh lampu-lampu neon. Banyak orang berbelanja dan banyak juga yang tidak berbelanja.
Bagi tukang sepatu yang mukanya capuk-capuk cacar itu, tidak menjadi soal apakah orang berbelanja atau tidak berbelanja.
Memang, kebanyakan pemilik-pemilik toko agak kurang senang hati terhadap orang-orang yang ke luar-masuk toko dengan tidak ada kepentingan berbelanja kecuali melihat-lihat saja.
Pemilik toko itu, yang masih juga bekerja sebagai buruh dirinya sendiri, sebenarnya belum berapa tua, biarpun ia merasa dirinya sudah tua. Orang yang belum kawin pada umumnya suka mengira dirinya semakin tua dari umurnya yang sebenarnya. Mereka seakan-akan bermusuh dengan waktu.
Ia melihat gadis-gadis yang masuk. Ada banyak gadis-gadis yang masuk, dan ia mendengar dan melihat bagaimana cara kebanyakan gadis-gadis itu memilih. Gadis-gadis umumnya suka memilih dan meniru. Ia ingin memiliki yang pernah dimiliki orang lain, kalau tidak persis benar, bahkan kepingin melebihi. Gadis-gadis suka bertanding memang.
“Berapa harga sepatu itu?” tanya seorang gadis.
“Dua ratus lima puluh,” jawab tukang sepatu pemilik toko itu.
“Oh,” kata gadis itu. Sebenarnya ia akan mengucapkan kata-kata, “Oh mahal sekali, tidak terbeli olehku.”
Ucapan “oh” itu menarik perhatian gadis-gadis di sebelahnya, sehingga mata gadis-gadis itu sama menunduk, melihat ke kaki gadis-gadis itu. Mulanya maksud mereka memang tidak melihat ke arah sepatu gadis yang dilihatnya, mereka sebenarnya mau melihat betis gadis itu. Jadi, tidak benarlah juga anggapan umum, hanya anak-anak bujanglah yang suka memperhatikan betis gadis. Gadis-gadis juga menyukainya, untuk ditandingi dengan betisnya sendiri.
Pemilik toko sepatu itu kini terbawa. Ia melihat ke kaki gadis itu. Tidak ada sepatu melekat di kakinya. Pemilik toko itu mengangkat kepalanya. Ia melihat wajahnya. Ia melihat matanya. Mata itu seakan-akan kekal dalam ingatannya. Waktu lima belas tahun seakan-akan tidak menjadi soal buatnya untuk mengenang.
Anak itu masih tidak bersepatu.
Anak itu telah menjadi seorang gadis berusia dua puluh tahun.
Ketika gadis itu cepat-cepat ke luar dari toko, pemilik toko mengikutinya. Ia mengikuti terus seperti orang tidak waras, sampai ke rumahnya. Di rumah itu ia bertemu dengan ibunya.
Adiknya yang dulu digendong kini sudah besar.
Lalu ia melamar anak gadis itu kepada ibunya. Ibunya mentertawakan, sebab anak gadisnya separuh dari usianya. Lalu ia merasa sedih. Sedih sekali dan kembali ke tokonya.
Ia telah berada di toko.
Memang ia berada di toko sejak tadi. Ia tidak pergi. Angan-angannyalah yang pergi mengikuti gadis itu, dan angan-angannyalah yang menemui ibunya dan angan-angannyalah yang menolak dirinya sendiri dengan lamarannya.
Tapi, demi malunya yang besar terhadap dirinya sendiri itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk benar-benar melaksanakan angan-angannya itu. Di saat malu yang paling hebat, terutama malu pada diri sendiri, seorang manusia menjadi sangat berani.
Tukang sepatu itu, yang kini telah memiliki toko sepatu itu, suatu ketika didatangi keberanian yang hebat, dan dia pergi ke rumah perawan itu dan benar-benar melamarnya pada ibu anak perawan itu.
“Saya telah mengenal anak ibu selama lima belas tahun,” katanya untuk pertama kali.
Ada dua jam ia di rumah itu. Dan pada saat akan pulang, ia berkata, “Terima kasih Bu. Besok saya datang lagi.”
Dan ketika ia berdiri di pekarangan, ia berkata lagi dengan sangat terharu sebab gembira, “Terima kasih, Bu.”
Pada waktu itu ia tidak pernah berpikir, bahwa ia telah berusia empat puluh tahun.Yang dipikirnya ketika itu ialah, akhirnya ia suatu waktu bisa juga menjadi seorang suami.
Di simpang jalan, ia hampir saja ditabrak mobil.
“Terima kasih!” katanya pada sopir yang tidak jadi menabraknya itu.***


Cerpen 5
MANGGA ARUMANIS
Muh. Rustandi Kartakusumah

Mangga itu sedap benar baunya. Arumanis sih! Kata Hendra dalam hati. Enak benar dipakai cuci mulut sesudah buka nanti. Tapi harganya jangan tanya!
Dari tempat ia berdiri Hendra memandang kepada orang yang sedang membeli mangga arumanis itu; seorang nyonya pakai oto. Ah, baginya membeli mangga arumanis barang dua puluh buah tidak merupakan persoalan yang sulit. Sedangkan bagi dia, Hendra, membeli dua buah saja ...!
Padahal paling sedikit ia bisa setaraf dengan nyonya itu dalam hal kekayaan, asal saja ... ya asal saja ia mau menerima ajakan majikannya di kantor. Soalnya sederhana saja: membubuhkan tanda tangan pada kertas yang disodorkan Pak Zulkifli itu. Sekali setahun. Maka setiap bulan ia akan menerima uang, yang akan memungkinkan ia tanpa pikir panjang, tanpa rebut tawar dulu membeli mangga arumanis barang dua-tiga puluh buah pada saat ini.
Hendra melihat nyonya itu sudah selesai membeli. Ia naikkan barangnya ke oto. Hendra pun, kata Pak Zulkifli, bisa membeli oto, lama-lama. Dalam jangka waktu setahun-dua tahun.
“Pokonya beres deh!” kata Pak Zulkifli. Nasibmu tidak akan semelarat ini. Apa kelebihan si Anu, si Anu (Pak Zulkifli menyebut serentetan nama) daripada kau? Tapi mereka semuanya hidup senang. Punya rumah, punya oto. Malah kalau mau, bisa juga ambil istri muda, seperti si Anu.
Apa kelebihan mereka dari aku? Hanya keberanian, kata Pak Zulkifli. Tapi Hendra tidak mau memiliki keberanian semacam itu. Mereka yang disebut-sebut Pak Zulkifli itu, yang hidupnya senang, malah mewah, bukannya punya kelebihan dari dia. Sebaliknya malah punya kekurangan. Yaitu kekurangan moral. Kyai akan bilang: kekurangan iman.
“Alaaa, Bung!” kata Pak Zulkifli, pastinya, jika sekiranya Hendra tadi mengemukakannya. Apa manusia bisa makan hanya dengan iman dan moral?
Ya, apa dengan moral atau iman aku bisa membeli mangga arumanis itu? pikir Hendra sambil berulang-ulang meraba dompetnya dalam kantong. Ia ada uang untuk membeli mangga arumanis itu, hanya sebanyak ... dua buah. Tidak lebih! Tapi itu pun jika ia mau hidup sehari tanpa rokok. Ia belum bisa sama sekali menghilangkan rokok. Yang ia bisa hanyalah mengganti merek yang murah.
Hendra melangkah, hendak pergi. Tapi ia berpaling dulu ke arah pedagang mangga. Tiba-tiba ia berbalik, kemudian melangkah ke arahnya. Aku akan membeli mangga arumanis itu! katanya dalam hati dengan ketetapan yang timbul begitu saja, tanpa pertimbangan terlebih dahulu.
Ia sudah tahu harga mangga itu. Harga matinya. Tapi ia masih menawar juga. Barangkali saja bisa di bawah harga mati itu, pikirnya. Tapi sayang, ternyata tidak.
Dipilihnya mangga yang paling harum, paling sedap baunya. Biar agak kecil sedikit asal betul-betul matang, betul-betul harum.
“Dua saja, Pak?”
“Ya, dua saja. Buat satu orang kan cukup!”
Hendra berdusta. Tidak apa, untuk menutup malu. Nyonya tadi membeli dua puluh buah, dia hanya dua buah.
Hendra tidak seorang diri. Mangga arumanis itu bukan untuk dia seorang saja. Ada Yanti, istrinya. Ada keempat orang anak-anaknya; Jaja, Umay, Tati, dan Ella. Dua buah mangga ini untuk enam orang; dua dewasa, empat orang anak-anak. Masing-masing akan mendapat sekerat-dua kerat. Lebih baik keratannya yang kecil-kecil tapi banyak daripada keratan yang besar tapi sedikit. Memakannya juga mesti sedikit-sedikit, supaya lebih lama rasa sedapnya melekat dalam mulut.
Hendra mempercepat jalannya. Ingin lekas-lekas sampai di rumah. Mangga ini akan disembunyikannya kepada Jaja dan adik-adiknya. Supaya merupakan surprise nanti, sesudah buka. Yanti juga akan heran, dan girang tentunya.
Tiba-tiba Hendra menunduk. Ah, Yanti! Katanya dalam hati. Aku hanya bisa memberi surprise kepadamu dalam bentuk dua biji mangga, kamu yang dahulu hidup serba cukup.
Rumah kelihatannya kosong saja dari muka. Anak-anak tentunya sedang bermain-main di halaman tetangga dan Yanti di dapur. Mudah saja Hendra masuk tanpa dilihat mereka. Juga Yanti tidak tahu ia membawa mangga. Biar bagi dia pun merupakan surprise, kata Hendra dalam hati. Mangga ditrauhnya di tempat yang tersembuyi, di balik kas kamar sepen, ditimbuni serbet supaya baunya pun tidak tembus.
“Lembur, Kang?” tanya Yanti, ketika Hendra masuk ke dapur.
“Hh-hh!” jawab Hendra. “Anak-anak di mana?”
“Di sebelah.”
Meskipun hanya sup tulang yang sedang dimasak Yanti, air liur Hendra terbit juga mencium baunya. Ah, kalau sedang berpuasa mudah sekali ngiler, pikir Hendra. Tadi ngiler juga, membaui mangga arumanis.
“Besok lembur juga?” tanya Yanti.
“Ya, dong! Buat tambah-tambah nafkah.”
“Kan Hari Pahlawan.”
“Ah, betul juga. Besok Hari Pahlawan 10 November.”
“Soalnya,” kata Yanti menyambung, “kita besok ... ngabuburit, yuk!”
Tiap hari ia mengurusi rumah tangga, mengurusi anak-anak. Padahal ia berasal dari keluarga lebih dari kecukupan, keluarga yang tidak jauh berbeda dengan keluarga wanita yang membeli mangga arumanis dua puluh biji tadi, keluarga yang punya pelayan barang tiga orang.
“Iya, Kang, ya?” Yanti mendesak. Tapi Hendra merasa tidak perlu didesak.
“Iya,” katanya. Hendra mengulurkan tangan dan dengan punggung telunjuk dibelai-belainya pangkal lengan Yanti. Hendra berpikir, jika adegan ini adegan dalam film, ia akan mendekap istrinya itu lalu berkata, “Aku cinta padamu, Sayang!” Tapi ini bukan film. Hendra hanya membelai lengan Yanti dengan punggung telunjuk. Yanti menyambutnya dengan sesaat meletakkan pipinya pada jari Hendra itu.
Kemudian Yanti seperti biasa memberi laporan tentang anak-anak. Tati berbuka jam 12 sekarang. Jaja dan Umay bertengkar memperebutkan potlot berwarna. Ella terjatuh tapi tidak apa-apa. Cuma tangisnya ... astaga, setinggi langit. Karena terkejut benar, barangkali.
“Lalu kau sendiri bagaimana?” tanya Hendra.
“Aku?”
“Ya, kau. Apaan saja sehari ini kerjamu?”
“Kerjaku sehari ini? Biasa, bergumul dengan harga.” Yanti menunjuk dengan cutik ke arah sup. Katanya, “Hasilnya itu, sup tulang-belulang. Sup daging tidak terbeli.”
Tapi Yanti cepat mengalihkan pembicaraan, “Mau air panas buat mandi?”
Hendra tidak mau air panas. Memang, jika ia capek sekali bekerja seharian mandi dengan air hangat-hangat kuku, enak sekali. Tapi kali ini ia tidak mau mandi dengan air hangat.
Sambil memandang Yanti yang sedang mengacau sup, Hendra berpikir: bulan ini bulan puasa dan besok Hari Pahlawan.
Makan buka puasa sudah selesai. Kalau Yanti tidak mengambil kebijaksanaan menyisakan sup di dapur, niscaya makan sahur nanti tanpa apa-apa; niscaya sup habis.
“Cuci mulutnya dengan teh manis saja, ya?” kata Yanti sambil berdiri, hendak mengambil wadah gula.
Sekarang! Kata Hendra dalam hati. Sekarang saat untuk muncul dengan surprise: mangga arumanis.
“Bagaimana kalau cuci mulut dengan mangga?” katanya. Yanti tertegun. Mulutnya membuka, “Dengan mangga?” tanyanya.
“Dengan mangga?” tanya Jaja dan Umay. “Dengan mangga, Pa?”
“Di mana ada mangga?” tanya Yanti menyambung. Di mana kita ada uang untuk membeli mangga?”
“Di sebelah mereka membeli mangga, tadi,” kata Jaja. “Mangga arumanis. Memang harum-harum baunya, sedaaap!”
“Jaja mau mangga arumanis?” tanya Hendra.
“Itu kan mahal, Pa? Cengkir saja, kalau ada.”
“Ya, cengkir juga enak,” kata Umay nimbrung.
“Jangan menimbulkan angan-angan atau keinginan mereka makan mangga segala macam,” kata Yanti, sambil duduk kembali. “Siapa yang mau gula?”
Ternyata tidak ada yang menggubris dia. Hendra terus berbicara:
“Cengkir enak. Apalagi arumanis!” katanya.
“Mangga gedong juga enak, Pa. Cuma kecil-kecil,” kata Jaja.
“Buat Umay, amangga apa saja enak. Kuweni juga.”
“Kuweni gatal!” kata Hendra.
“Mangga golek enak juga, ya Pa, ya?”
“Kapan kamu makan semua itu: golek kuweni, dan seterusnya?” tanya Yanti.
“Pernah, dulu. Di rumah Aki dan Nini,” jawab Jaja. “masih ingat kamu, May?”
Ya, di rumah mertua Hendra, makanan macam mangga golek dan arumanis bukan makanan yang mewah, hanyalah makanan sehari-hari.
Hendra berdiri.
“Mau ke mana, Pa?” tanya Yanti dan anak-anak serempak.
“Ke kamar mandi ... sebentar.”
Hendra tidak ke kamar mandi. Ia pergi ke sepen. Diambilnya bungkusan mangga. Diciumnya. Harum. Benar, harum. Dan pasti manis pula!
“Sekarang semua pejamkan mata!” kata Hendra, ketika masuk kembali ke ruang makan dengan menyembunyikan bungkusan di belakang punggungnya. “Pejamkan!”
“Pejamkan semua! Kalau tidak, bapak pergi ke luar. Ayo pejamkan! Emak juga!”
Yanti dan anak-anaknya mula-mula agak ragu-ragu. Tapi akhirnya pejam juga mata masing-masing.
“Eh, jangan ngintip di balik bulu mata. Pejam, ya! Awas! Jangan nyalangkan kembali, sebelum ada perintah dari Bapak.”
Hendra mendekat, duduk. Dibukanya bungkusan. Ditaruhnya di atas meja, di tengah-tengah.
“Sekarang, buka semua! Nyalang semua!”
Yanti dan anak-anak nyalang kembali mata masing-masing. Mereka sekilas memandang kepada Hendra. Kemudian mengikuti pandangan Hendra kepada mangga. Mereka menampak mangga. Hening sesaat.
“Mangga,” bisik Jaja.
“Mangga!” teriak Umay. Lalu semua bersorak: “Mangga. Mangga! Mangga arumanis!”
“Dari mana dapat, Pa?”
“Beli, Pa? Di mana belinya, Pa?”
“Buat kita ya Pa, ya?”
“Habis, buat siapa lagi?” jawab Hendra. “Minta Emak mengupasnya. Ma, kupas dong, Ma!”
Hendra menoleh kepada Yanti. Yanti tetap hening. Tidak pula dibalasnya pandangan Hendra. Hendra tahu, apa sebabnya. Yanti tidak mau memperlihatkan matanya, yang pasti basah itu. Tetapi tanpa memandang kepada Hendra, Yanti berdiri, mengambil pisau dari lemari, kemudian mengupas mangga. Sementara itu anak-anak beleter, memberi komentar masing-masing mengenai mangga.
“Kecil-kecil saja, Mak!” kata Hendra. Kemudian ia bertanya kepada anak-anak, “Jaja mau mangga?”
“Mau, Pa.”
“Umay?”
“Mau, Pa!”
“Tati?”
“Mau, Pa!”
“Ella?”
“Mau, Pa!”
“Tati dan Ella, kalau mau mangga, sun Bapa dulu. Tati pada pipi kiri, Ella pada pipi kanan.”
Tati dan Ella naik ke pangkuan Hendra. Tati ke sebelah kiri, Ella sebelah kanan, kemudian menciumi pipi Hendra.
“Lagi, Pa? Lagi, yah?”
“Hh-hh.”
Sementara dicium kedua anaknya, Hendra melihat kepada Yanti. Kini Yanti membalas pandangannya. Ia mau sekarang, karena matanya sudah tidak basah lagi. Tapi Hendra tahu pasti, tadi mata Yanti basah. Di antaranya kelihatan dari warna merahnya.
Keratan mangga dibagi-bagi. Jaja dan Umay, karena sudah besar, lebih sekerat dari Tati dan Ella. Tati turun dari pangkuan Hendra, Ella tetap. Selama makan mangga tidak ada yang berbicara. Seakan-akan mereka takut, jangan-jangan enaknya mangga akan berkurang, jika dimakan sambil berbicara. Masing-masing merasakan benar rasa mangga, dengan perhatian.
Hendra dan Yanti membagi porsi masing-masing dengan Jaja dan Umay. Jaja dan Umay jelas masih kekurangan.
Setelah mangga habis, anak-anak mencari kesibukan sendiri-sendiri. Hendra dan Yanti tetap duduk-duduk.
“Dari mana dapat uang?”
Dengan keterusterangan yang sudah terbiasa, Hendra menjawab: Uang rokok.
Orang mengetuk pintu. Biasanya Jaja yang membukakan pintu. Tapi ia dan adik-adiknya sudah tidur dengan nyenyaknya. Hendra tadinya hendak mencegah Yanti menjalankan tugas Jaja itu. Menurut firasatnya, tamu itu bukan orang yang ia senangi benar.
Firasatnya tidak seberapa jauh meleset: Pak Zulkifli yang datang. Bersama Pak Bakhrum dari Bagian Personalia di kantornya. Mereka dipersilakan Yanti masuk. Terpaksa Hendra menerima mereka juga.
“Ini dari ibu anak-anak untuk anak-anak di sini!” kata Pak Zulkifli, sambil memberikan keranjang kepada Yanti. Keranjang itu berisi ... mangga arumanis. Hendra mengira-ira mangga itu jumlahnya ada sepuluh.
Sesaat Hendra dan Yanti berpandangan. Kok kebetulan benar! Dijawabnya pertanyaan itu dengan bahasa mata pula. Yanti tahu siapa Pak Zulkifli dan apa yang dimintanya dari dia: Hendra membubuhkan tanda tangan pada secarik surat. Hendra pernah menceritakan semua itu kepadanya.
Beberapa lamanya Pak Zulkifli dan Pak Bakhrum mengobrol ngalor-ngidul dengan Hendra. Tapi akhirnya ia muncul kembali dengan permintaannya itu, yang sudah diduga Hendra sebelumnya. Tetapi Hendra tetap menolak, meskipun Pak Zulkifli bercerita bahwa si Anu sedang membangun bungalow di Lembang, hasil perbuatan serupa. Si Anu membeli oto, oto kedua. Yang pertama buat istrinya.
Dengan muka kecewa Pak Zulkifli berpamit. Katanya, sudah malam. Ia dan Pak Bakhrum berpamit juga kepada Yanti. Sekali lagi Yanti menyatakan terima kasihnya atas pemberian mangga arumanis itu. Hendra mengantarnya sampai pintu pagar halaman.
Ketika ia masuk kembali, ia diikuti oleh Bi Emeh dari rumah sebelah.
“Bi Emeh, akan menjaga anak-anak dan rumah, sebentar,” kata Hendra kepada Yanti. ”Kita jalan-jalan sebentar, yuk, cari hawa.”
Yanti tidak bertanya apa-apa. Juga tidak, ketika dilihatnya Hendra membawa keranjang mangga, setelah diambilnya sebuah dan diberikannya kepada Bi Emeh.
Dengan berbicara hanya seperlunya saja, Hendra menggandeng tangan Yanti dan Yanti pun tidak pula bertanya ke mana hendak pergi.
Setelah hujan rintik-rintik tadi siang, langit malam ini cerah. Bintang berkedip-kedip. Sampai di jembatan Kali Cikakak, Hendra berhenti sebentar. Dilepasnya tangannya dari menggandeng Yanti, kemudian pergi ke tepi kali. Air yang biru hitam ditatapnya beberapa saat. Kemudian ia kembali kepada Yanti, menggandengnya lagi lalu terus berjalan.
Di muka sebuah toko ada beberapa orang sedang berbenah-benah hendak tidur. Gelandangan atau hanya orang yang tidak punya rumah saja? Yanti tidak tahu. Hendra menuju mereka, setelah kembali tangan Yanti dilepasnya. Kemudian keranjang berisi mangga pemberian Pak Zulkifli itu diberikan Hendra kepada orang-orang yang tunawisma atau gelandangan itu.
“Terima kasih, Gaaan, terima kasih.” Orang-orang itu tampak setengah percaya setengah tidak, kepada siapa dan apa yang mereka terima.
Yanti Pak Zulkifli itu diberikan Hendra kepada orang-orang yang tunawisma atau gelandangan itu.
“Terima kasih, Gaaan, terima kasih.” Orang-orang itu tampak setengah percaya setengah tidak, kepada siapa dan apa yang mereka terima.
Yanti tetaap tidak bertanya apa-apa kepada Hendra, yang kembali kepadanya dan menggandengnya lagi. Mereka pulang. Setiba di rumah, Bi Emeh disuruhnya pulang.
Antara Hendra dan Yanti telah berkuasa keheningan. Hanya di atas ranjang Yanti merasa kemesraan yang hangat, lebih daripada biasa, dalam pelukan Hendra.

(Hoerip, 1979: 78-85)
Cerpen 6
Pelajaran Mengarang
Seno Gumira Ajidarma

Pelajaran mengarang sudah dimulai.
”Kalian punya waktu 60 menit,” ujar Ibu Guru Tati. Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama Keluarga Kami yang Berbahagia. Judul kedua Liburan ke Rumah Nenek. Judul ketiga Ibu.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pena pada kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kacamatanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang ke luar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin yang kencang. Ingin rasanya ia lari keluar kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang Keluarga Kami yang Berbahagia, Liburan ke Rumah Nenek, dan Ibu. Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan yang besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apa pun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Ketika berpikir tentang Keluarga Kami yang Berbahagia, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran di atas kasur yang sepreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus-menerus mendengkur bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
”Lewat belakang anak jadah, jangan ganggu Mama,” ujar sebuah suara dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.
***
Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkannya tentang sebuah keluarga yang bahagia.
”Mama, apakah Sandra punya Papa?”
”Tentu saja punya, anak setan! Tapi tidak jelas siapa! Dan kalau pun jelas siapa, belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik kucing dengan Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tidak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.
Dua puluh menit telah berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir sesuatu yang mirip dengan Liburan ke Rumah Nenek dan yang masuk dalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan di muka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.
”Jangan rewel anak setan! Nanti kamu kuajak ke tampatku kerja, tapi awas ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau ke luar kota berhari-hari entah ke mana.
Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.
”Anak siapa itu?”
”Marti.”
”Bapaknya?”
”Mana aku tahu!”
Sandra sampai sekarang tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk di ruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menunjuk-nunjuk mereka.
”Anak kecil kok dibawa ke sini sih?”
”Ini titipan Si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”
Sandra masih memandang ke luar jendela. Ada langit yang biru di luar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.
***
Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang Ibu. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik ke atas kursi.
Apakah wanita itu ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.
”Mama, Mama, kenapa menangis Mama?”
Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih teringat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan, ”Diam anak setan!” atau ”Bukan urusanmu anak jadah!” atau ”Sudah untung kamu kukasih makan dan kusekolahkan baik-baik, jangan cerewet kamu anak sialan!”
Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergeletak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.
”Mama kerja apa sih?”
Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa, yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.
Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari Minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini dan ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapatkan boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali Sandra makan, wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seperti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan dengan es krim sambil berbisik, ”Sandra, Sandra….”
Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita, dari sebuah buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.
”Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”
”Seperti Mama?”
”Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”
Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus-menerus mengeluarkan asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager ….
Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri di muka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.
DITUNGGU DI MANDARIN, KAMAR 505, PKL 20.00.
Sandra tahu, setiap kali pager itu menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu, Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu, tapi, begitulah, ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkannya.
***
Empat puluh menit lewat sudah.
”Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu Guru Tati.
Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang terlalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Beberapa di antaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari ke luar kelas.
Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.
”Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.
Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. ”Mama, Mama,” bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.
Ia juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhannya yang panjang maupun pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika di kolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan. ”Mama, Mama,” dan pipinya basah oleh air mata.
”Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.
Semua anak berdiri dan menumpuk karangannya di meja guru. Sandra menyelipkan kertasnya di tengah.
***
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu Guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:
Ibuku seorang pelacur….
                                                             Palmerah, 30 November 1991
                                                 Kompas, 5-1-1992
Cerpen 7
SERIBU KUNANG-KUNANG DI MANHATTAN
Umar Kayam

Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.
“Marno, Sayang.”
“Ya, Jane.”
“Bagaimana Alaska sekarang?”
“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”
“Maksudku hawanya pada saat ini.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju. Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”
“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
Dari dapur, “bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”
“Ya, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
“Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”
“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
“Oh.”
“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”
“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”
“Kenapa?”
“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.
“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”
“Kau anak yang manis, Marno.”
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokkannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
“Marno.”
“Ya, Jane.”
“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh.”
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangnya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
“Eh, kau tahu, Marno?”
“Apa?”
“Empire State Building sudah dijual.”
“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”
“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”
“Tidak. Bisakah kau?”
“Bisa, bisa.”
“Bagaimana?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
“Oh, kalau saja …..”
“Kalau saja apa, Kekasihku?”
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”
“Lantas?”
“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
“Biar!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”
“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
“Jet keparat!”
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
“Aku merasa segar sedikit.”
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……
“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”
“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”
“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”
“Marno.”
“Ya.”
“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”
“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”
“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”
“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”
“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”
“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”
“Aku membosankan jadinya.”
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah, duduk.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”
“Kunang-kunang?”
“Ya.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”
“Begitu kecil?”
“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”
“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”
“Ya, pohon-hari-natal.”
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”
“Ya.”
“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”
“Mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.
“Marno, Sayang.”
“Ya.”
“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”
“Belum, Jane.”
“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane.”
“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”
Sekarang Jane ikut tersenyum.
“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”
“Apakah itu, Jane?”
“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya .…”
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
“Aku harap kausuka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
“Kausuka dengan pilihanku ini?”
“Ini piyama yang cantik, Jane.”
“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
“Jane.”
“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banyak kerja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”
”Kaumerasa tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”
“Terima kasih, Jane.”
“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”
“Oh”.
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.
“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”
“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”
“Tentu, Jane.”
“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?
“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”
“Kautahu nomorku kan? Eldorado”
“Aku tahu, Jane.”
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.***

Cerpen 8
KADO PERKAWINAN
Hamsad Rangkuti

Sejak bisa mengingat sampai Rabiah tamat SMP, dia tetap merasakan ejekan yang sama, yang selalu dilontarkan orang kepadanya. Ia selalu ingat bahwa orang senantiasa berbisik di belakangnya kalau mereka lagi tidak senang terhadap dirinya. Bisikan itu selalu dapat didengarnya walaupun dari jarak jauh. Terkadang orang mungkin mengatakan yang lain, tetapi ia seperti mendengar ejekan yang sama dilontarkan kepadanya. Dia akan tersinggung mendengar kata-kata itu diucapkan di depannya. Kata-kata yang menyakitkan itu seperti sembilu yang ditusukkan ke ulu hatinya di dalam dada. Kata-kata “gunting”, “pisau cukur”, “sisir”, “pengetam rambut”, adalah semcam cuka yang dicurahkan ke atas luka yang menggores permukaan hati di dalam dadanya itu.
Tadi siang waktu dia mengantarkan surat undangan perkawinannya kepada Sri, teman bekas sekolahnya di SMP, dia dengar orang berbisik waktu ia melintas hendak pulang. Ia dapat menangkap bisikan itu.
“Anak tukang cukur itu mau menikah. Nasibnya baik. Dia mendapatkan jodoh seorang pegawai negeri. Siapa mengira, anak si tukang cukur bisa mendapatkan jodohnya seorang pegawai kantoran. Aku mau anakku juga bisa mendapatkan jodohnya seorang pegawai negeri.”
Begitulah bisik-bisik orang yang didengarnya. “Anak si tukang cukur mendapat jodohnya. Anak si gunting rambut menemukan jodohnya. Anak si gunting rambut akan menikah.”
“Pinjam sisirmu,” kata mereka mengejeknya di sekolah.
“Masak anak si tukang cukur tidak membawa sisir. Mengapa tidak kauambil salah satu sisir ayahmu?” sindir mereka.
Malamnya ia berkata kepada ibunya, “Mengapa ayah menjadi tukang cukur?”
“Mengapa kau bertanya seperti itu, anakku?”
“Mereka mengejekku. Anak si tukang cukur. Kata mereka.”
“Kau malu?”
“Aku malu, Ibu. Kata mereka aku anak si tukang sayat kulit dagu para pejenggot. Hati-hati kalau kau bercukur kepada ayahnya, kata mereka mengejekku, dia tidak bisa membedakan rambut dan alis mata.”
“Kau malu, anakku?”
“Telingaku tebal menahan malu, Ibu. Mengapa ayah memilih pekerjaan tukang cukur? Apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakan ayah?”
“Semua pekerjaan itu mulia, anakku.” Begitulah si Ibu menasihati anaknya tentang makna sebuah pekerjaan bagi manusia. Kecuali barangkali ibu dari istri seorang maling.
Rabiah selalu ingat bagaimana berat hatinya bila sesekali ia disuruh ibunya untuk mengantar nasi di dalam rantang ke tempat ayahnya mencukur rambut. Ia keluar bersembunyi-sembunyi dari balik rumah untuk membawa rantang itu ke alun-alun. Ayahnya selalu didapatinya tegak berdiri lama-lama di belakang orang yang duduk di atas kursi. Dia lihat rambut berjatuhan ke kulit lengan ayahnya yang memegang ketam cukur. Dia benci melihat ketam cukur itu. Dia benci melihat pisau cukur yang digenggam ayahnya untuk melicinkan ujung rambut yang tumbuh di balik daun telinga, di tengkuk, di pipi, di bawah dagu, dan di bawah lubang hidung orang yang duduk di bangku tukang cukur itu.
Dia benci melihat cermin yang bergoyang ditiup angin bila kendaraan melintas cepat di belakang ayahnya. Dia benci melihat cermin yang bergoyang itu mempermainkan wajah orang yang duduk di depan ayahnya. Ranting-ranting di atasnya kadang terpantul di dalam cermin itu, tetapi Rabiah tidak sempat mempedulikan itu. Dia selalu cepat-cepat saja meletakka rantang di sudut meja cukur ayahnya. Dia tidak pernah berkata lama kepada orang tua itu.
Ia segera pulang membawa uang yang diserahkan ayahnya untuk cepat-cepat dia pergi membeli beras dan membawanya pulang. Dia tidak mau berlama-lama berdiri dekat meja tukang cukur itu. Dia takut kalau-kalau ada salah seorang teman sekolahnya melihat dirinya di tempat tukang cukur itu.
“Dari mana kau? Aku lihat tadi kau membawa rantang,” tanya mereka berbasa-basi. Tetapi teguran itu dirasakannya seperti menyindirnya. “Mengapa mereka selalu melihatku. Mengapa mereka selalu bertanya. Bukankah mereka sudah tahu bahwa aku mengantar rantang untuk ayah. Mereka memang selalu mau mengejekku,” begitu katanya dalam hati.
Rabiah tidak pernah mau menyambut kotak papan tempat alat cukur itu setiap ayahnya pulang. Dia tidak pernah mau menyambut kotak cukur itu sementara ayahnya meletakkan sepedanya di tepi pagar. Kotak papan itu, kalau dia pandai berkata, dia tentu akan berkata seperti ini. “Mengapa kau selalu ingin lari dari kenyataan, Rabiah. Apakah kau tidak sadar bahwa akulah yang memberimu makan sejak bayi sampai kau dewasa. Seharusnya kau sayang kepadaku. Kau tidak boleh benci melihat benda-benda yang kusimpan di dalamnya. Siapa yang membesarkan adik-adikmu? Memberi makan mereka sampai menjadi besar seperti sekarang ini. Siapa yang membelikan bajumu. Siapa yang membelikan bedakmu, membelikan sepatumu, kaos kakimu, buku-bukumu, membayar uang sekolahmu? Siapa, wahai anak gadis pemalu? Mengapa kau lari dari kenyataan itu?”
“Apakah anak si penjaga malam juga mengalami hal yang sama seperti kau? Anak si tukang sapu jalanan itu? Anak si pendorong gerobak sampah itu? Anak si kuli bangunan? Apa yang telah meracuni pikiranmu. Tidakkah kau bersyukur bahwa ayahmu masih mampu mempergunakan alat-alat yang kusimpan di dalam diriku ini? Coba kau bayangkan kalau dia sudah tidak mampu lagi menggerakkan gunting, pengetam rambut, apa jadinya? Coba kau pikirkan siapa yang akan membesarkan adik-adikmu. Siapa yang akan memberi makan nenekmu yang tua. Coba kau pikir, siapa yang akan membelikan daun sirih untuknya. Siapa yang akan membelikan tembakau dan susurnya?”
Tentu saja Rabiah tidak mendengar kata-kata itu semua. Hanya hati nurani anak yang pandai bersyukur yang bisa menangkap ucapan-ucapan yang tidak diucapkan seperti itu. Anak yang tidak pandai bersyukur tentu tidak akan bisa menyuarakan kata-kata seperti itu dari dalam lubuk hatinya.
Mula-mula dia tidak mau mengatakan kepada kekasihnya bahwa dia anak seorang tukang cukur. Dia lama menyembunyikannya. Tetapi, bagaimanapun dia pandai menyembunyikannya, si kekasih akhirnya mengetahuinya juga.
“Mengapa kau malu mengatakannya, Rabiah? Apakah yang membikin kau malu untuk mengatakan hal yang sebenarnya?” Rabiah tidak menjawab pertanyaan kekasihnya.
“Aku bersyukur bisa mendapatkanmu, Sukri. Aku akan bahagia bila telah menjadi istri pegawai negeri. Aku akan bangga, walaupun aku bukan istri seorang pegawai tinggi. Itulah yang telah lama aku cita-citakan, menjadi istri seorang pegawai negeri. Istri si pegawai negeri. Dan orang tentu tidak akan mengatakan lagi, anak si tukang cukur.”
Mendengar kata-kata Rabiah, Sukri tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi masalah seperti itu. Dia tidak mau menyakiti hati Rabiah. Dia masih gadis remaja. Dia masih memiliki mimpi-mimpi seperti yang banyak dialami anak-anak remaja. Rabiah belum siap menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya. Biarkanlah Rabiah berperasaan seperti itu. Banyak alasan orang mengapa dia malu pada apa yang dia sendiri tidak bisa menghindarinya.
“Apa yang kau inginkan sebagai kado perkawinan kita, Rabiah? Mintalah, Rabiah. Mungkin aku bisa membelikannya,” kata Sukri suatu kali kepada keksaihnya itu.
“Aku tidak menginginkan yang bukan-bukan, Sukri. Kemiskinan telah membiasakanku untuk menerima apa adanya. Kau tidak usah memikirkan tentang kado. Dirimu adalah kado yang tak ternilai bagiku. Kau telah memberi kado begitu kau telah mengucapkan akad nikah memperistrikanku. Sebab kado itu telah kau berikan kepadaku: istri seorang pegawai negeri. Itulah kado yang paling berharga yang pernah kudapatkan. Jangan pikirkan kado yang tidak-tidak, sayang.”
Sukri berbahagia mendengar ucapan kekasihnya. Dia tidak mengira Rabiah akan berkata  seperti itu. Dia tidak mengira anak si tukang cukur itu berkata semacam itu. Apa yang telah menutupi dirinya selama ini dan apa pula yang telah membuka selaput yang tidak pernah merasa bersyukur itu selama ini. Betapa ejekan-ejekan yang diterimanya sejak ia bisa mengartikan kata-kata itu tentang sebutan anak si tukang cukur telah merusak jiwanya yang luhur, tidak ubahnya pisau yang tumpul diasah terus-menerus.
Sekarang terwujudlah impiannya untuk menanggalkan sebutan anak si tukang cukur itu dari dirinya. Malam ini adalah pesta menanggalkan sebutan itu, sekaligus pesta itu juga akan meresmikan sebutan baru yang akan melekat pada dirinya.
Tadi pagi penghulu telah menikahkannya dengan Sukri, kekasihnya. Sejak itu dia telah menanggalkan sebutan itu. Pada tempatnya yang sekarang, orang akan melupakan dari mana dia datang sebelumnya. Orang akan menyebutnya: Nyonya Sukri. Istri pegawai negeri.
Tetapi orang masih tetap mengatakan bahwa malam ini adalah malam pesta perkawinan anak si tukang cukur. Apakah Rabiah mendengar sebutan itu? Dia sudah tidak memikirkannya. Dia ingin cepat-cepat saja malam itu berlalu. Dia ingin cepat melihat tukang-tukang cukur teman-teman ayahnya berlalu meninggalkan pesta perkawinan itu. Mereka tidak membawa kado. Tukang-tukang cukur itu hanya bersalaman menyelipkan uang pecahan ke dalam genggaman ayahnya di dalam amplop berwarna.
Tukang-tukang cukur itu telah berganti dengan tamu-tamu para pegawai negeri kerabat suaminya, si pengantin lelaki itu. Pegawai-pegawai negeri itu datang menunjukkan sikap yang saling ingin melebihi di antara mereka. Rabiah merasa bahagia menerima ucapan selamat dari mereka. Lihatlah, mereka datang membawa kado-kado, sedang tukang-tukang cukur itu tidak membawa kado sebuah pun. Mereka tidak mempunyai duit untuk membeli kado. Padahal kado, menurut anak perempuan itu, adalah perlambang dari orang yang hidup di alam modern.
Pesta telah sepi. Rabiah dan Sukri turun dari atas pelaminan. Mereka berdua masuk ke dalam kamar pengantin. Kado-kado itu tertumpuk di atas tempat tidur.
Mereka membuka kado-kado itu. Kado itu dibuka dari bungkusnya. Seolah kado-kado itu melambangkan kenyataan hidup ini. Berapa lamalah kado bisa menyembunyikan isinya untuk tidak dapat dilihat orang. Rabiah membuka kado-kado itu untuk melihat apa yang tersimpan di dalamnya. Dan kado itu pun terbuka dari pembungkusnya untuk mengguncangkan hati Rabiah. Ia tidak yakin dengan apa yang ada dalam kotak karton pembungkusnya. Mungkinkah orang ingin mengingatkan tentang pekerjaan ayahnya. Atau mungkin orang mengirim kado untuk ayahnya. Tetapi mengapa orang menulis begitu di atas kertas ucapan selamat. Ia tidak yakin dengan apa yang dibacanya. Ia mengulanginya. Tulisan itu tidak mengubah artinya walau beberapa kali dibacanya, “Selamat menempuh hidup baru. Terimalah pemberian teman-teman sekantor, Sukri. Mungkin kau memerlukannya di luar dinas untuk mencari penghasilan tambahan. Kami sadar, begitu orang masuk ke dalam dunia rumah tangga, beban hidup akan terus-menerus bertambah.”
“Apakah kado itu tidak keliru dikirimkan untukmu, Sukri? Apakah tidak mungkin mereka mengirimkannya untuk ayahku?”
“Mereka tidak keliru, sayang. Aku memang tidak pernah mau mengatakannya kepadamu selama ini, sayang. Aku tidak mau merusak impianmu. Aku tidak mau mengecewakanmu. Aku hanya ingin membawamu kepada kenyataan itu sendiri.”
“Apakah maksudmu, suamiku?”
“Kau tidak boleh kecewa, sayang. Semua pekerjaan itu mulia. Aku adalah tukang cukur di kantorku. Aku mencukur para pegawai di departemen. Banyak pegawai seperti aku. Para pegawai tidak perlu membuang waktunya untuk bercukur di luar kantor. Kau jangan kecewa, sayang. Kau harus menyadari, bahwa semua pekerjaan yang halal itu mulia, sayang. Kau jangan menangis, istriku. Aku tukang cukur di kantorku.”
“Mengapa kau tidak mengatakannya sejak dulu? Kau tidak jujur terhadap diriku.”
“Aku tidak ingin merusak impianmu. Lagipula menurut perkiraanku, kau tentu tidak akan mengetahuinya. Aku hanya ingin menjaga impianmu. Dan sekarang kuharap kau sudah terbangun dari tidurmu.”
Rabiah menangis. Dia mendekap erat suaminya. Air matanya menetes ke atas baju pengantin lelaki itu. Malam pengantin itu menjadi tidak seindah dari apa yang telah dibayangkannya. Ia makin menangis entah untuk berapa lama.
“Berkurangkah cintamu kepadaku, begitu kau tahu siapa aku, sayang?”
Wanita itu tidak menjawab pertanyaan suaminya. Dia terus saja menangis sampai dia tertidur di dalam dekapan suaminya.
Pada pagi hari ia terbangun oleh kesibukan orang di luar kamar pengantin mereka. Rabiah mendapatkan dirinya masih tetap dalam pelukan suaminya, yang tidur tersandar di dinding kamar pengantin itu. Dia bangun dari pangkuan suaminya. Ia baringkan kepala suaminya di atas bantal. Dia benarkan letak badan suaminya di atas tempat tidur. Dia pandangi tukang cukur itu tidur lelap di bawah kain selimut yang ditutupkannya sendiri. Ia menangis melihat laki-laki yang terbaring itu. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah suaminya. Dia menciumnya sampai rasa menyayat di hatinya berangsur lenyap. Dia mendekap lelaki yang tertidur itu. Lama ia berbuat seperti itu sampai pada akhirnya dia memandangi kotak kado yang berisikan alat-alat cukur itu. Dia mendekatkan wajahnya ke kotak itu. Dia buka tutupnya pelan-pelan. Meraba benda itu dengan jari-jarinya yang lembut. Menutup kotak itu kembali, dan dia melekatkan pipinya yang basah di atas kotak itu, Air matanya jatuh membasahi kotak penyimpan alat-alat cukur itu.
Di beranda dia dengar ayahnya mengeluarkan sepeda. Orang tua itu sungguh mencintai pekerjaannya. Dia telah bersiap-siap untuk berangkat kerja meskipun pagi itu pagi pertama hari perkawinan anak gadisnya. Rabiah turun dari atas tempat tidur itu dan membuka pintu. Dia pergi ke ruang tengah. Ayahnya mendorong sepeda ke pekarangan. Orang tua itu menyandarkan sepedanya di tepi pagar. Tukang cukur itu telah bersiap-siap untuk masuk mengambil kotak cukurnya di dalam kamar. Rabiah memandang ayahnya. Baru kali ini dia dapat melihat betapa menderita orang tua itu, berdiri sehari penuh di bawah pohon, dimandikan panas matahari. Rabiah berlari mengambil peti alat cukur ayahnya dari dalam kamar ayahnya. Membawanya berlari ke hadapan orang tua itu. Dan begitu sampai ke depan ayahnya, dia terus mendekap orang tua itu. Dia menangis mendekap ayahnya. Peti alat cukur itu menggelantung di dalam pegangannya di belakang tubuh ayahnya. Tukang cukur itu tidak tahu apa penyebab tangis anaknya.
                                                    (“Lukisan Perkawinan”, Sinar Harapan, hal. 154-162)

2 komentar: