KATA-KATA TELAH MATI
Dasiman Adnan, Kabar dari Indra Maulana, Metro: 21/8/2012
"Kata-kata telah mati! Kita berada di zaman
kematian kata-kata!" Seorang teman tiba-tiba berseru dalam sebuah diskusi
kecil, atau tepatnya obrolan ringan suatu malam. Aku terhenyak, lalu terpekur
dan mengendapkan kabar duka itu.
Mulanya kami hanya berbincang tentang keluh kesah
yang itu-itu saja; seputar tidak hadirnya negara (pemimpin) dalam berbagai
permasalahan. Tapi obrolan seolah mengarah makin serius. Mereka yang mengaku
aktivis, cendekia, dan berbagai sebutan lainnya, seperti sudah sampai pada
taraf putus asa. Putus asa karena berbagai cara telah disampaikan kepada
pemerintah, kepada wakil rakyat, pada penguasa, tentang sejumlah problematika
negeri. Putus asa karena mereka bebas berunjuk rasa, bebas meneriakkan protes
tentang sesuatu yang salah, tentang sesuatu yang dituntut untuk diperbaiki oleh
seluruh elit negerinya, tapi kebebasan bersuara itu seperti berakhir sia-sia,
tidak didengar. Atau didengar tapi diabaikan.
Seorang teman lain berseru: "di zaman orba,
mulut kami dibungkam, tetapi suara (kata) kami bisa menjadi sangat tajam,
hingga merobek telinga mereka (penguasa). Tapi kini kami dibebaskan bersuara,
kami tidak dibungkam, tapi mereka menutup telinganya, hingga suara kami pun tak
berdaya".
Aku pun langsung teringat sepotong sajak perlawanan
seorang aktivis 98, yang karena kalimat dalam sajaknya itu, menggemakan gerakan
reformasi dan menjadikannya nyata.
Kekuatan
sajaknya itu; "...hanya ada satu kata, Lawan!" membuat sang penyair
cum aktivis Wiji Thukul, menjadi salah satu korban penculikan yang belum
ditemukan hingga sekarang. Tetapi benih reformasi yang turut disebarnya melalui
dorongan kata-kata dalam sajaknya itu telah dituai hasilnya kini.
Ketika pena masih bisa menjadi senjata, maka
kekuasaan pun masih bisa dikontrol, tapi apa jadinya bila pena (kata-kata) bisa
leluasa bersuara tapi menjadi tak bermakna di telinga? Hanya menjadi hal yang
diabai? Maka, kata-kata, sesungguhnya telah mati. Kata-kata telah terpendam
dingin, bisu di pusaranya.
Yudi Latif, dalam "Menyemai Karakter
Bangsa" (2008) menyebut "setiap gerakan kebangkitan bermula dari
tanda. Dan, bahasa (kata-kata) adalah rumah tanda". Ini menunjukkan betapa
pentingnya peran kata-kata, dalam setiap gerakan kebangkitan. Dimulai dari
sadar berkata-kata, sadar dalam keberaksaraan, maka akses menuju perubahan yang
lebih baik pun terbuka lebar.
Dalam kata, tentu ada gagasan/pikiran. Karena
sebenarnya, meminjam ungkapan Radhar Panca Dahana, kata-kata adalah baju dari
segala pemikiran/gagasan. "kata-kata dan pikiran ibarat sebuah kertas,
seseorang tak bisa memotong satu sisi, tanpa memotong sisi lainnya di waktu
yang sama" ujar Ferdinand de Saussure.
Dengan tidak
didengar, dengan hanya diabaikan, maka kata-kata seperti dilolosi dari tubuh
makna dan gagasannya. Dilepasnya jubah
kata-kata dari tubuh makna, maka sebenarnya kata-kata telah dibunuh, telah
dibuat mati oleh sang 'pengabai' itu.
Ibarat
mendengar kabar duka tentang orang tercinta, kabar kematian pun beranjak melahirkan
cemas. Karena itulah, di saat orang berteriak
"Merdeka" sebagai selebrasi yang berulang tiap tahunnya, aku memilih
bersimpuh di pusara kata-kata. Lalu berharap, kata-kata sebenarnya belum mati,
tapi berharap ia hanya mati suri. Karena tanpa kata-kata apalah arti manusia
dengan segala peradabannya?
Selintas terdengar sayup dari kejauhan, di luar jendela sana, John F. Kennedy berbisik; "Jika politik itu kotor, biarlah Puisi yang membasuhnya."
Selintas terdengar sayup dari kejauhan, di luar jendela sana, John F. Kennedy berbisik; "Jika politik itu kotor, biarlah Puisi yang membasuhnya."